Pages

Monday, July 28, 2008

Lima Sekawan

Bulan ini rasanya berat sekali. Ada 2 hal penting yang membuat rasanya kayak di smack-down rata!. Puncaknya seminggu kemarin. Sampai2 aku membayangkan seandainya kehidupan adalah komputer, pengen rasanya ‘log off’ dulu saja.

Yang pertama adalah situasi di perusahaan yang selama ini aku kelola. Berkaitan situasi ekonomi yang diprediksi makin tidak menentu, keluarga sepakat untuk melakukan konsolidasi dan beberapa pembenahan manajemen sehingga perusahaan lebih “tahan gempa”. Meskipun semua aspek hal ini dilakukan dengan baik dan hati-hati, tetap saja secara emosional jadi tekanan luar biasa berat.

Yang kedua adalah pembunuhan mutilasi dengan korban Heri Santoso.
Sulit sekali mencerna berita ini. Aku pernah satu kantor dengan Heri pada tahun 1995 s/d 2000 di Jakarta. Kami relatif berteman dekat. Memang setelah tahun 2000 hanya beberapa kali berkomunikasi via telpon, tapi aku tetap cukup mengenal Heri lebih dalam dibanding banyak orang lain. Mangkanya sepintas mengikuti berita di media rasanya muak banget. Sampai saat ini tiap ada beritanya di teve rasanya masih kayak menonton mimpi.

Biasanya aku individualis, tapi 2 situasi ini membuat luar biasa sedih dan sendiriiiii.... Hati seperti direndam cuka pahit. I was in the middle of no-where; bingung kudu bagaimana. Hanya bisa cerita sedikit sama ibu dan menumpahkan semuanya ketika bercakap dengan Tuhan.
Pekerjaan dan kopi menjadi sasaran untuk melawan perasaan. Sebenarnya berharap sekali ada yang bisa diajak mengurai rasa, tapi ternyata justru dari 5 orang teman ini yang sering mengirim sms2 casual: Pau apa kabar? Jangan kerja terus, jaga kesehatan ya. Kak Pau…lagi ngapain?, Pras, kapan bisa ketemu lagi?, Selamat hari minggu…… Sms2 “ga penting” tapi berhasil memberi kekuatan hingga tidak jatuh nelangsa.

Rinda-di Jakarta, yang sedang terkena ‘batuk 100 hari’ potong tahanan. Hihi…
Didid-di Sukoharjo, miskin pulsa tapi suka forward sms2 motivational
Ika-di Jakarta, yang sedang sibuk menyiapkan pernikahannya
Ridho-Purwokerto, yang suka sms malem2 tapi membuat aku bisa nyengir sejenak.
Darma- di Jakarta yang sedang pontang-panting membagi waktu praktek dan kuliah malam.

Mereka sebenarnya tidak tahu situasi yang kudu hadapi, smsnya sering ga aku balas, mereka bukan teman2 yang pernah diperlakuan secara istimewa, mereka juga tidak saling mengenal, tapi seolah mereka mengerti dan menyediakan their shoulder to cry on.
Ini pasti juga salah satu cara Tuhan menjawab doa, dan mengajarkan bagaimana Tuhan bekerja melalui orang-orang yang tidak terduga.

So melalui entry ini, I’d like to say to you guys: Terima kasih teman! Mari bersama menjaga semangat!

(by the way, krisis sudah berlalu kok. I’m sooo much better!. Thank’s sekali lagi!)

Monday, July 07, 2008

Hikayat Batu Dan Pohon Ara

Seorang teman membagikan cerita ini. Rasanya sangat memberi kekuatan dalam melawan tekanan kehidupan.

Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama pembantunya. Diantara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara.

Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut dan berkain panjang ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal.
Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.
"Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu ?".
"Baik pengamatan mu, anak ku", jawab Ayahnya,"bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda".
"Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa ?", tanya anaknya kembali.
"Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru dipinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.".
"Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu pada ku?"
"Tentu buah hatiku", sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.
"Dahulu, ketika aku masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hati ku. Dan kakek mu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing batu yang tampak oleh mu sebenarnya sedang menindih sebuah biji pohon ara."
"Tidakkah benih pohon ara itu akan mati karena tertindih batu sebesar itu Bapa ?"
"Tidak anak ku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin".

"Bilakah hal itu terjadi Bapa ?"
"Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunas nya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya. Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar."
"Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa ?", tanya anaknya.
Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.
"Benar anak ku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagi mu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Tuhan bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk dimuka bumi ini. Perhatikanlah kata-kata ini anak ku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini"


gambar diambil dari sini