Pages

Monday, January 19, 2009

Ca Per Kuala Lumpur Januari '09

The New LCCT
LCCT (Low Cost Carrier Terminal) Kuala Lumpur untuk AirAsia sedang di renovasi. Bagian kedatangan Internasional sudah selesai. Beberapa perubahan antara lain : selain tambah luas yang tadinya hanya satu lantai sekarang dua lantai. Turun dari pesawat, jalan di koridor tarmak yang rasanya makin panjang, penumpang naik eskalator ke lantai 2 untuk proses imigrasi. Konternya imigrasi lebih banyak sehingga waktu prosesnya juga terasa lebih cepat.

Selanjutnya turun ke lantai dasar yang terdiri dari toko, restaurant klaim bagasi dan bea cukai. Dulu LCCT hanya memiliki 2 karousel bagasi kecil di ruang sempit, saat ini ada 6 karousel besar dan sangat luas. Kereta dorong masih baru dan banyak tersedia.

Sebagian lantai dasar masih dalam tahap perbaikan baik untuk keberangkatan internasional maupun domestik. Jalan di depan terminal yang dulunya untuk drop-off mobil penumpang sekarang diberi tempat duduk untuk luapan penumpang yang tidak tertampung di dalam gedung. Uh! Penumpang pada keleleran ga jelas, kayak pengungsi dari ana gitu. Hehe.

Tapi bisa dibayangkan LCCT nanti akan tidak uyel-uyelan dan jauh lebih representatif.

Saran untuk yang mau berangkat dari LCCT sebaiknya datang awal menghindari kerepotan akibat pembangunan ini.


Tiket SkyBus Online.

Dari LCCT ada SkyBus yang mengantar kita ke KL Sentral. Tarifnya masih sama RM 9. Ada operator bis dengan rute sama tarifnya RM 8. Kalau SkyBus berwarna merah. Pesaingnya berwarna kuning. AirAsia sekarang memberikan kemudahan pembelian tiket SkyBus pada saat pembelian tiket online. Ini memudahkan karena kita tidak perlu rogoh2 kantong untuk bayar tiket sementara sudah repot dengan bagasi kita.

Pada waktu kita naik bis, tinggal tunjukkan itinerary dan boarding pas, kru bis akan memberikan kita tiket khusus untuk pembelian online (warna ungu, pembelian langsung tiketnya berwarna merah)

Sedikit beda dengan setahun yang lalu, tiket jangan dibuang: sesampai di KL Sentral kita kudu menunjukkan tiket yang terdiri dari 2 bagian yang akan disobek kru SkyBus KL-Sentral.


Penitipan Barang di KL Sentral.

Di KL Sentral ada konter penitipan barang yang beroperasi dari jam 0800 s/d jam 2200. Tarif penitipan RM 3 untuk tas kecil, untuk koper RM 5.

Kemarin, habis belanja di Pecinan Petaling aku ke KL Sentral naik LRT Putra, nitip barang trus ganti naik Monorail ke Buit Bintang tanpa kudu tenteng2 belanjaan.


Tune Hotel di KL dan LCCT

Sudah beberapa kali nginep di sini. Aku selalu minta kamar yang jendelanya tidak menghadap kejalan: lebih tenang dan ga panas. Cukup buka jendela lebar2 dan hidupin exhaust fan kamar mandi ga usah beli add-on AC.

Sekarang ini disediakan 4 unit komputer dengan koneksi internet yang bebas dipakai tamu hotel. Lumayan cepet dan bisa untuk up-date milis IBP ini dan facebook. Hehe

Tune Hotel di LCCT hampir rampung pembangunannya. Bisa dicapai dengan jalan kaki dari LCCT. Lain kali kalau mau mengejar penerbangan pagi bisa nginep disini: ga usah grobyakan naik taksi pagi buta dari KL.


Bukit Bintang

(Center Piece Shi Sapi di depan plataran The Pavilion)

Kayaknya dampak resesi global sudah menyentuh daerah ini. Banyak café-café tenda yang kosong ditinggalkan penyewanya. Tapi ada mall baru : Pavilion yang kelasnya setara dengan Suria KLCC. Tapi sepi juga.

Monday, January 12, 2009

Kacang Lupa Kulit, Aku Lupa Beca…

Hampir setiap hari aku jalan kaki ke BCA untuk setor uang penjualan. Ga jauh kok paling 300 meter. Suatu saat karena duitnya banyak banget, aku naik beca. Setelah selesai setor dan mempererat tali silaturahmi dengan mbak2 teller BCA, aku pulang dengan hati gembira. Hihi…

3 jam kemudian aku balik ke BCA, mau setor lagi. Kali ini jalan kaki.
Sampai depan BCA aku jenggirat kaget!!!....
Becak yang aku naikin 3 jam yang lalu masih disitu!
Bapak becanya juga santai2 cuek, pasti ga sadar aku sudah sempat balik kantor, makan, nonton Insert di Trans tv, kerja, chatting….
Alamak!

Dulu ketika menjadi mahasiswa, ada satu dosen yang aku kagumi : Dr. Ir. Ardi Pardiman M. Arch. Beliau saat ini sudah almarhum. Bagi aku beliau sangat berkesan. Beliau banyak memperkenalkan pendekatan filsafat dalam kuliahnya. Rasanya masih terbayang bagaimana dia berbicara, hal2 yang dikatakannya, prinsip2 kuliahnya, tulisannya dipapan yang abstrak ….
Tapi dosen satu ini juga pelupa…
Suatu hari beliau meminjam vespa koleganya dan pergi ke Malioboro. Parkir, jalan2 trus pulang ke kampus kami yang waktu itu masih di ujung Selokan Mataram, naik:…… bis kota.
Sesampai di kampus tanpa merasa berdosa, P’Ardi mengembalikan kunci vespa kepada pemiliknya.

Beberapa saat kemudian si pemilik vespa shock!.... Vespa ga ada di parkiran kampus!
Kucap carito, setelah didesak untuk mengingat-ingat, P’Ardi baru nyadar kalau Vespa ketinggalan di Malioboro.
Maka mereka berdua pergi ke Malioboro naik bis untuk mencari vespa yang entah diparkir sebelah mana….

Masih ada beberapa kejadian ajaib berkaitan watak pelupa P’Ardi. Beberapa teman menyebut beliau eksentrik. Aku lupa apa itu “eksentrik”, mungkin semacam arus “listrik” ?

Beberapa hari yang lalu aku ke Beteng untuk beli kain tenun. Beteng ini merupakan pusat tekstil di Solo, terletak kira2 1 km dari kantor.
Biasanya aku pergi naik bis kota, pulangnya jalan kaki. Kali ini aku beli kain banyak: sampai 60 meter. Oleh si penjual kain di bagi 4 potong dan diwadahi 4 plastik gede. Aku pulang jalan kaki, bawa 4 plastik kain berat banget. Baru jalan 400 meter aja sudah keringatan kayak kuda. Huh aku mikir enak betapa enaknya kalau tadi minta di antar mobil atau naik becak.....

Weitzzz!!! NAIK BECAK ?????

ASTAGA!!! Aku baru ingat tadi tuh ke Beteng sebenarnya dari kantor naik beca karena sudah nyadar bakal bawa kain banyak!...kwakwakwakwa……
Akupun balik kanan ke Beteng lagi.
Iya jalan kaki lagi. Sudah cukup malu lupa sama becak.
Pasti lebih malu lagi kalau ke Beteng naik beca hanya untuk jemput beca.

Hihi… asyem!

Friday, January 09, 2009

Opto, Ergo Sum…. What Next ?

Beberapa peristiwa akhir-akhir ini membuat aku makin yakin pada pemikiran bahwa hidup adalah serangkaian pilihan.
Sampai-sampai sebulanan ini topik utama obrolan aku dengan semua orang berawal dan bermuara ke pemikiran itu : Opto, Ergo Sum semboyan populer yunani yang artinya : aku memilih, karena aku ada.

Tapi meski ngobrol sampe mabok, rasanya seperti memandangi kolam ikan berair keruh. Aku ga bisa menangkap apa yang ada di dasar kolam itu.

Hingga ada 2 orang yang membuat perenungan aku mencapai titik kulminasi, membuat otak aku kayak komputer habis di defrag, menembus kekeruhan air melihat mutiara yang di dasar kolam.

Yang pertama adalah Caroline, teman yang sudah lama kehilangan kontak, thank’s to the Facebook jadi ketemu lagi. Suatu malam kami ngobrol di FB messenger, aku mengutarakan kegelisahanku memahami prinsip hidup tersebut: hidup adalah pilihan.

Dengan satu kalimat pendek Caroline memberi pencerahan: 'Pau, menurut aku hidup adalah keputusan.'

KLING!

Aku sempat tercenung sekian detik. Rasanya seperti melihat sekerjat cahaya di dalam labirin gelap. Secercap ekstasi!

“pilihan selalu ada, tapi adalah tugas kita untuk mengambil keputusan, kalau kita hanya memilih tanpa mengambil keputusan, kita akan selalu hidup dalam pencarian”
“ketika kita sudah memutuskan, jalani dengan segenap hati, biarlah Tuhan yang bekerja melaluinya”

Kata kuncinya adalah : keputusan.

“pilihan” adalah kata benda, pilihan akan selalu menjadi pilihan. Abstrak. Quo Vadis.
Tapi kata ‘keputusan’ memiliki makna yang lebih, sebuah ‘keputusan’ diikuti sebuah tindakan untuk mewujudkannya.

Begitu kira2 yg aku temukan. AWESOME!!! Caroline emang seperti kilat! Sekejap tapi tepat sasaran. Seseorang yang sangat lugas menentukan jalan hidupnya sendiri. Sekali lagi dia sudah menandai sebuah titik dalam hidup saya.
Sayang koneksi internet dia trus putus…. Jadi ga bisa ngobrol lebih jauh.

Tapi pencerahan yang diberikan Caroline jadi pijakan ke pemahaman berikutnya.

Orang kedua adalah Kenneth (bukan nama sebenarnya, tapi ada di FB saya). Kenneth brondong berusia 19 tahun, dikenalin Arief seorang teman di Jakarta. Persis seperti gambaran Arief tentang Kenneth: pintar, batak tapi jawa banget, wise: malah rada old soul.
Akhir tahun kemarin, si Kenneth yang anak STAN ini mudik ke boyolali, trus dia menyempatkan ke Solo. Kami jalan ke Gramedia, menjarah buku2 obral trus makan ke pizza hut.

Kenneth yang anggota tim debat di kampusnya, bahasa inggrisnya superb. Aku kalah.

Ngobrol ngalor ngidul, dia bercerita tentang bapaknya yang disebutnya “bajingan” (eits! Sumpah dia loh yang ngomong gitu) meninggalkan ibu, dia dan adiknya. Kenneth menggambarkan si bapak terjirat masalah duit dan menjalin hubungan yang tidak bertangung jawab.

Yang bikin ngilu ketika Kenneth yang semuda itu bilang, “…dan saya kuatir bisa menjadi seperti dia….”

To Ridho: Eitzz!! …… jangan asal bilang “ga mungkin”!!!

Itu bisa banget terjadi! Pernah dengar pepatah like father like son?, Do you recall what DNA for? DNA tidak hanya menurunkan warna rambut, kulit, bentuk tubuh, namun juga watak dan kepribadian. That’s why orang jawa memilih jodoh dengan ukuran bibit, bobot, bebet : keturunan, kekayaan dan ketrampilan.

Dengan ditemani tiramisu, choco delight for him, black coffee for me; aku dan Kenneth jadi merajang pemikiran Opto, Ergo Sum.

Pertama aku menularkan pencerahan Caroline bahwa kata kuncinya adalah keputusan. Bahwa akhirnya kita yang punya kekuatan untuk memilih dan memuruskan kehidupan yang kita inginkan. Berbicara tentang masa depan, justru merupakan blessing n disguise ‘ketika kita melihat orang lain sebagai ‘kaca benggala’

Seperti kata Kenneth : hal-hal baik menjadi pemicu semangat, hal-hal buruk menjadi benchmark kehidupan yang kudu dihindari. (pake bahasa inggris, oy!)

Aku jadi menjiplaknya pada beberapa situasi kehidupan aku sendiri: pekerjaan, kehidupan rohani, hubungan dengan keluarga dan teman2, rencana masa depan, relationship dengan garwa….

WAW!!!

Senang sekali bisa bersama brondong satu ini belajar memahami kehidupan.

Thank's kid! You know I believes that you will lead a fine life.



Ada satu lagi…

Beberapa tahun yang lalu, aku dan Titi nonton film Jomblo, dikisahkan tokoh yang diperankan si Ringgo, udah punya pacar, namun menjalin cinta dengan cewe lain yang lebih cantik, sabar dan pengertian.
Tapi akhirnya ketika si tokoh itu kudu memilih, dia memilih kembali pada cewenya yg pertama: yang judes, dll.

Karena memang memilih tidak akan ada batasnya, selalu ada saja yang lebih baik. Hingga pada satu titik kita kudu memutuskan. Bukan karena dibatasi waktu, tempat atau nafsu, tapi karena hati kita berkata: ini keputusan saya.

gambar diambil dari sini