Pages

Tuesday, July 27, 2010

Jack

Posting kali ini didedikasikan untuk Nisa Harahap yang tinggal di Rantauprapat, Sumatera Utara.
Kenal di facebook setelah dia baca blog ini. Dari status-statusnya di fb keliatan anak pintar, masih SMU, bercita-cita melanjutkan ke fakultas psikologi setelah lulus nanti. Amin deh!

---

Di beberapa negara asia timur: China, Taiwan, dan Jepang; saat ini sedang aktual dengan berita tentang seorang yang dijuluki ‘brother sharp’ : seorang gelandangan di China yang fotonya diunggah di internet.
Meskipun ‘brother sharp’ ini sinting, namun memiliki selera fashion yang luar biasa modis. Dia dengan sangat kreatif memadu padankan jaket, gaun, payung, sepatu, dll menjadi sophisticated attire hingga membuat orang-orang kagum dan menanti-nantikan penampilan modis berikutnya. Bahkan beberapa orang membandingkannya dengan peragawan yang menampilan pakaian designer ternama. Google saja ‘brother sharp’. Bahkan ada page facebook untuk gelandangan satu ini.




Aku jadi pengen nulis tentang seorang yang tiap petang nongol di depan warung.

Aku gak tahu nama, asalnya, usianya dll. Jadi sebut saja Jack.

Tingginya sekitar 165 cm, item, kurus, kumisan. Usianya sekitar akhir 30 atau awal 40. Pakainya selalu sama: kemeja hijau hansip lengan panjang, celana gelap, sepatu, rompi dan topi pet.
Dekil bukan main.

Yang jelas Jack ini gelandangan yang secara klinis mustinya masuk rumah sakit jiwa.

Seingat aku, Jack mulai terlihat setahun ini.
Suka nonton televisi di depan warung sambil ngomong sendiri, nyanyi, atau marah-marah entah kepada siapa.

Awalnya terus terang aku rada serem. Tapi siapa yang ga takut ketemu manusia kayak si Jack. Gimana coba kalau tiba-tiba dia ngamuk bawa batu bata atau pentungan…
Jadi kalau dia nongkrong di depan warung, aku berusaha menghindar. Setidaknya jangan sampai bertatapan.

Warung aku PancaMurah biasanya tutup jam 8 malam. Kadang molor karena nungguin mobil delivery balik, dll
Aku melihat bahwa ternyata setelah jam 8 malam biasanya malah banyak pembeli, jadi 3 bulan yang lalu aku memutuskan memperpanjang jam buka warung sampai jam 9 malam.
Karena OneOne; warung aku yang disebelah tetap tutup jam 8, semua staff Panca Murah aku suruh pulang jam 8 malam juga. Aku jaga warung Panca Murah sendiri. Kalau sampai kewalahan melayani konsumen, toh aku bisa minta mama bantu di kasir.

Mulailah si Jack ngajak ngobrol dan bertanya,

‘bos, hari ini laku berapa?’
‘bos, semua aman khan!’
‘bos kok sendirian…’
‘bos, temennya mana’

Awalnya aku cuekin…. Serem oy!

Tapi karena dia tanya baik-baik, aku jawab seperlunya

‘ya lumayanlah..’
‘mas suyar sudah pulang!’

Trus dia selalu nyambung,

‘kok belum tutup bos?... tapi gak apa-apa…saya temani sampai tutup nanti’
tenang bos! Gak usah takut! Saya akan bantu jaga…’

Kemudian dia jongkok nonton teve, atau berdiri menghadap jalan, ngakak sendiri, ngomong sendiri, misuh-i (*memaki) pengendara motor yang lewat…tergantung mood-nya hari itu.

Kalau aku sedang di dalam warung trus ada orang datang parkir sepeda motor, dia teriak,

‘bossss! Ada pembeli ini!...’
‘yak! Masuk saja…masuk saja!’ mempersilahkan orang masuk warung
(*padahal mungkin malah bikin calon pembeli ketakutan. Hehe)

Pernah sekali dia malu-malu minta duit, ‘bos ada seribu…..buat beli minum bos!’

Setelah itu, kadang saya memberinya makanan atau uang seribu-dua ribu. Gak tiap hari, paling 2-3 hari sekali.
Setiap diberi uang, dia langsung ke warung, balik dengan membawa sekantong es teh komplit sedotan, dia teriak,

‘bos, ini minumnya…bos mau gak?’

Bahkan kadang meski bukan uang pemberian aku, dan aku ada di dalam warung… di luar dia berteriak nawarin minumnya….

‘bos..ini es tehnya…mau minum gak?...kalau gak mau saya minum dulu ya…’

Kalau dia bosen nonton teve, dia pamit,

‘bos, saya mau kesana dulu…nanti saya kembali kesini…saya temani jaga bos!’

tumben tadi dia nongol agak sore, aku motret dari belakang diam-diam

----

Saat ini definisi ‘teman’, ‘sahabat’, etc menjadi sangat luas, majemuk dan semu.
Seseorang bisa punya ratusan or ribuan ‘teman’ di facebook tanpa pernah bertemu dan berinteraksi.
Sebaliknya gak aneh seseorang berkata, ‘aku khan temanmu’ hanya untuk justifikasi keberadaanya sebagai tukang porot.

Sulit mendefinisikan siapakah Jack: orang gila, gelandangan atau bahkan malaikat; tapi jelas kehadirannya menyentuh hangat hati. Ketika jaga warung sendirian malam-malam, aku merasa tidak sendiri. Aku punya teman.

Di tengah dunia yang batas kewarasan sudah hilang, keberadaanya membantu aku bertahan menjadi orang yang waras.

You see…betapa kayanya hidup aku ini!
(*mikir: apa yaaa... yang bisa dilakukan untuk Jack…)

Friday, July 23, 2010

Apoteker dan Chocolate Cookies

Kemarin sore, Ridho - si apoteker itu nulis di facebook tentang rumah sakit tempat gawe dia dengan 700 tempat tidur hanya dilayani oleh 22 staf kefarmasian, tanpa didukung sistem inventory yang baik.

Oh ya, kudu di catat: kalau aku sering menyebut nama Ridho, bukan berarti dia satu-satunya teman atau karena dia orang penting. Tapi ada alasan yang kapan-kapan saja aku tulis di sini. Hehe..

Balik ke status fb Ridho ..…

Tentu saja aku gak bisa menahan diri untuk komen ‘umuk’ tersebut.
Agar komen aku gak ‘waton sulaya’ sebelumnya aku riset ringan di internet, tentang rasio ideal tenaga kefarmasian dengan pasien yang dilayaninya; juga ngoprek-ngoprek konsep ‘man-hour’ umum.

Ada satu link yang kemudian menarik perhatian, yakni di page ISFI – Facebook, yang si Ridho juga anggotanya.

Di page itu ada seseorang (*sebut saja si Joko) yang mengeluhkan tentang penolakan ijin membuka apotik oleh IAI setempat. Pengurus IAI menolak dengan alasan rasio apotik/apoteker dengan jumlah penduduk di kota tersebut sudah mencukupi.

Diskusi di page ISFI tersebut berlanjut sangat akademis; hanya mbulet tentang rasio apoteker dan jumlah penduduk kota tersebut. Seolah-olah dunia apotik hanya soal ‘rasio apotik/apoteker dengan jumlah penduduk’
Sama sekali tidak disinggung dari kacamata ekonomi; satu aspek yang sangat penting dalam pendirian sebuah apotik (*atau usaha bisnis lainnya). Malah mungkin paling penting.

Kelaikan pendirian sebuah usaha (apapun) mustinya tergantung pada ‘demand’. Keputusan membuka apotik hanya karena dia seorang apoteker adalah sangat konyol.

Aku pernah ngobrol dengan beberapa pemilik apotik yang mengeluhkan tingkat persaingan yang makin tinggi; yang dari segi ilmu ekonomi, pasti dikarenakan makin banyaknya apotik yang ada di Solo, sehingga mau tidak mau apotik berlomba untuk memperebutkan konsumen.

Di sisi lain, ada satu aspek lagi yang kayaknya juga gak dipahami Joko dan kawan2nya itu.

Nature of busines sebuah apotik berbeda dengan warung gudeg ceker, karaoke NAV, toko handphone, atau panti pijat shiatzu.

Usaha-usaha yang disebut belakangan ini memiliki pasar yang “tidak terbatas”; kejenuhan pasar dapat diperbaki dengan peluasan demografi konsumen, peningkatan kebutuhan, dsbnya. Misalnya dengan penggalakan makan gudeg ceker, memasyarakatkan karaoke sebagai hiburan keluarga, financing pembelian handphone, dll

Tapi kalau apotik gak bisa seperti itu. Bagaimana coba caranya “meningkatkan kebutuhan” antibiotik, analgesik, dll penduduk sebuah kota?

Seseorang yang gak hobi nyanyi bisa saja dibujukin ke karaoke, tapi kalau orang sehat ngapain kudu beli obat daftar G? kalau hanya beli bodrex atau mylanta khan bisa di warung sebelah?

Sampai dititik ini aku jadi prihatin dengan etika profesional dan pemahaman profesi si Joko. Penguasaan ilmu dagang : kurang!
Pemahaman profesi : kurang juga!...

Kalau hanya sekedar ‘punya usaha’ kenapa gak buka toko roti saja?
(dooohhh…lagi pengen banget makan chocolate cookies!!)

Tujuan ilmu kedokteran adalah mencegah penyakit dan memperpanjang hidup. Cita-cita ilmu kedokteran adalah menghapus kebutuhan akan dokter.
(Willian J Mayo, pendiri Mayo Clinic)

(to Ridho : apoteker khan sekutunya dokter!) Hahaha….

--------

share another joke...

Satu pasangan muda sangat bersuka cita demi mengetahui sang isteri hamil muda.
Namun sebelum mendapat kepastian dari dokter, mereka sepakat untuk merahasiakan kehamilan tsb.

Isteri: "Pa, nggak usah diomongin dulu ya...takut gagal, 'kan nggak enak kalau sudah di-omong2in"

Suami: "Oke deh ma, janji nggak bakalan diomongin sebelum ada konfirmasi dokter"

Tiba2 datang karyawan PLN ke rumah mereka untuk menyerahkan tagihan dan denda atas tunggakan rekening listrik mereka bulan yang lalu.

Tukang Rekening PLN: "Nyonya terlambat 1 bulan."

Isteri: "Bapak tahu dari mana...? Papa... Tolong nih bicara sama orang PLN ini...!"

Suami: "Eh, sembarangan. .. bagaimana anda bisa tahu masalah ini?"

Tukang Rekening PLN: "Semua tercatat di kantor kami, Pak."

Suami (tambah sengit): "Oke, besok saja saya ke kantor Bapak untuk menyelesaikan masalah ini!"

Besoknya...

Suami: "Bagaimana PLN tahu rahasia keluarga saya?"

Karyawan PLN: "Ya tahu dong, lha wong ada catatannya pada kami!"

Suami: "Jadi saya mesti bagaimana agar berita ini dirahasiakan, Pak?"

Karyawan PLN: "Ya mesti bayar dong Pak!"

Suami (sialan gue diperes nih!) : "Kalau saya tidak mau bayar, bagaimana?"

Karyawan PLN: "Yaaa.. punya Bapak terpaksa kami putus..."

Suami: "slompret... ? Lha, kalo diputus... nanti isteri saya bagaimana... ?"

Karyawan PLN: "Kan masih bisa pakai lilin."

Wednesday, July 21, 2010

Stress Meter

Posting kali ini didedikasikan untuk Christin, seorang JS-er yang konon melahap habis blog ini dalam 3 hari.
Christin adalah cake-maker. Kualitasnya pasti terjamin, secara dia anggota milis Jalan Sutra. Silahkan yang mau pesen roti bisa klik di sini atau lewat saya dengan tambahan harga 15%. Hehe…

Kenal Christin akhir Juni kemarin, pas sedang stress mode-on.

Tumpukan pekerjaan, akumulasi permasalahan gawean, ulah teman kerja, kurang tidur, ditambah kejenuhan hasilnya adalah stresssssss luar biasa. Depresi lebih tepatnya.

Saat sedang stress parah biasanya aku jadi cranky atau berusaha ngobrolin masalah dengan seseorang. Biasanya itu bisa mengurangi level stress. Tapi mungkin karena ini sudah depresi, jadinya malah dipendam sendiri.
Padahal hampir setiap malam habis tutup warung, ada saja teman yang ngajak keluar. (*sampai merasa kayak digilir. Hahaha)

Hanya si Ridho dukun-bercelana-batik itu yang sms : mas, kamu kenapa?

Jadilah aku selama beberapa hari cuma diam menggarami hati.

Suatu malam pas saat teduh, aku bertanya sama Tuhan: aku musti bagaimana.

Aku buka Alkitab langsung nemu Mazmur 34 yang berhasil mendiskon stress separo harga: 50% stress bablas ilang.
Tapi karena tetap saja ada masalah yang kudu digarap dan diselesaikan, rasanya masih galau.

Esoknya, ditengah rasa galau dan pengapnya pikiran; tiba-tiba selayalnya dapat wangsit, aku ingat situasi semasa masih kuliah di FT Arsitektur dulu.

Selama beberapa semester, di setiap hari Jumat ada mata kuliah bernama Program Profesional.
Ini adalah program studio di kampus untuk bikin gambar, dll dari jam 13.30 sampai jam 17.30 (selama 4 jam)

Dan selalu saja situasi di bawah ini terjadi.

Dosen atau asistennya akan memberikan assignment, misal: bikin desain kantor kecamatan. Biasanya berlangsung sekitar 20 menit.

Namun alih-alih langsung ngerjain tugas, rata-rata kami malah melakukan hal-hal yang tidak penting: makan ke kantin, merokok dulu, ngobrol ke ruang KM, ngobrol, rapat panitia gak jelas, bahkan ada yang pulang ke kost di jalan parangtritis ambil kertas atau pensil warna yg ketinggalan…

Rata-rata 1 s/d 1,5 jam kemudian baru pada mulai bikin konsep, gambar, dll.
Setengah jam kemudian ruang akan sepi… karena semua stress kuatir tidak bisa menyelesaikan tugas; menyesal kenapa makan di kantinnya terlalu lama, kenapa tadi pulang ke kost malah nggosip sama ibu kost, kenapa tadi malah mainan sama kucing tetangga…

Kalau di jidat kami masing-masing dipasang stress-meter, pasti semua di titik maksimal, indikator lampu dan sirine akan meraung-raung kayak ambulan yang membawa ibu yang mau melahirkan.


Tingkat stress ini terus meningkat hingga jam 17.15 sore; 15 menit sebelum tugas kudu dikumpulan.

Tepat jam 17.20 sore (waktu tinggal 10 menit). Ruang studio akan kembali gaduh, semua tertawa-tawa, jalan2 liat hasil kerja orang lain…. Mulai berbenah….

Stress-meter nya NOL!
Semua merasa lega. Tanpa beban.

Apakah tugas sudah selesai sempurna?

Belum! Belum banget!

Tapi kenapa kok malah stressnya ilang?

Kami pernah membicarakan fenomena ini. Kenapa rasa stress ilang justru ketika waktu tinggal beberapa menit, padahal tugas belum selesai.

Semua sepakat, karena sudah gak ada harapan tugas akan selesai. Sudah tidak ada lagi upaya yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan gambar denah, gambat tampak bangunan, apalagi bikin perspektif dan mewarnainya….

Artinya: kami stress justru karena sebenarnya sadar masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan tugas. Tentunya dengan kondisi fokus mengerjakan tugas dan tidak membuang-buang waktu untuk urusan lain yang tidak penting.

Ingat hal itu, langsung stress meter aku turun sampai hanya 10%
Aku tahu masih kudu menyelesaikan masalah, tapi rasanya lega menyadari rasa stress beberapa hari ini menunjukkan bahwa sebenarnya masih cukup waktu dan cara untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah yang aku hadapi. ……asaaaaal gak terus bolak-balik "ke kantin" lagi.

HORE!!!! Lega banget!

ke kantin dulu ah!, kata Didot: tahu gorengnya baru mateng….. (*ga kapok mode on)

-----------


Share anekdot yang baru saja bikin aku ngakak gak berhenti.

3 pemuda : Aki, Oki dan Uki berhasil membebaskan jin yang terperangkap disebuah lampu ajaib.
Seperti biasa, si Jin mengabulkan permintaan masing-masing 3 orang tersebut.

Aki minta terkunci disebuah gua selama 10 tahun dengan ditemani 50 wanita cantik, seksi dan mencintai Aki. Jleb! Terkabul!

Oki minta terkunci disebuah gua selama 10 tahun dengan ribuan botol minuman beralkohol berkualitas tinggi. Jleb! Terkabul!

Uki minta terkunci disebuah gua selama 10 tahun dengan ribuan batang aneka rokok dan cerutu berkualitas terbaik. Jleb! Terkabul!

10 tahun kemudian…. Jin kembali untuk membuka masing-masing gua ketiga orang tersebut.

Aki merangkak keluar dengan badan kurus kering, lemas kehabisan tenaga melayani 50 wanita cantik yang mencintainya. Belum genap 2 meter, Aki rebah dan mati.

Oki keluar dengan perut yang membuncit, mabok berat dan sinting kebanyakan minuman keras. Sempoyongan 10 langkah ambruk dan mati.

Uki keluar gua segar bugar, mukanya merah emosional, tangan berkacak dipinggang, marah luar biasa dan langsung berteriak “JIN GUOBLOK!!! Koreknya mana????!!!!!!

Hahahahaha……..
HAHHAHAHAHA……………..

Wednesday, July 07, 2010

Agus, Cap Cay, dan Aku.

Dua fragmen pertama sudah ditulis beberapa minggu yang lalu namun gak sempat ter up-load. Tapi fragmen ketiga terjadi hari ini sebagai aplikasinya.

Seorang teman blogger: Agus, tertegun ketika naik taksi.
‘loh! Ini khan Mbelgombes : konco SD dulu’, batinnya.

Sebaliknya si supir taksi tidak mengenali penumpangnya yang ngganteng dan sukses itu adalah orang yang dulu sering diolok-oloknya.

Agus pun kikuk: haruskah memperkenalkan diri.
Namun akhirnya tidak dilakukannya.

Gak ngerti persis alasan dia, tapi menurut aku memang gak perlu. Gak ada manfaatnya.
Karena setelah pertemuan itu, toh Agus dan Mbelgombes akan sibuk dengan kehidupan masing-masing dan tidak akan ketemu-ketemu lagi.

Lagipula, emang kenapa kalau “hanya” jadi sopir taksi? Kebahagiaan dan humanisme seseorang tidak diukur dengan profesi, kekayaan, atau bentuk fisiknya.
Iya tho?! Iya tho ?!

Agus, tahu persis dia sudah bahagia, hebat dan ngguanteng tanpa kudu menginjak teman yang dulu sering mengoloknya.


------


Sebulan yang lalu ketemu Didid dan dikenalkan dengan 2 orang yang bersamanya : Cap Jay dan Buyung Hay

Malamnya aku baru tahu, Cap Jay adalah mantan pacar Didid, yang tinggal di Surabaya datang ke Solo untuk memperkenalkan Buyung Hay, pacar barunya ke Didid.

Aku ngakak tanya Didid : ‘ha???! Buat apa???”
Bukankah setelah Didid dan Cap Jay putus, hampir gak ada komunikasi.

Jawab Didid: “iya, sebenarnya di hati gak enak banget lihat Cap Jay sama orang lain”

Cap Jay jauh-jauh dari surabaya ke solo (*numpang nginep di rumah Didid pulak) untuk menunjukkan kepada Didid, ‘ini loh pacar gue yang baru....’


-----


Beberapa hari yang lalu mendapat friend invitation di FB. Sekilas aku baca namanya Risonto. Seperti biasa aku langsung confirm yes, trus aku tulis di wall: “thank’s sudah invite, tahu aku dari mana?”

Dia mengaku teman Titi, dan suka baca blog ini.

Barulah aku lihat di mutual friend, ternyata memang ada si Titi.
Intuisi aku: halah, Risonto ini pasti pacar terbaru Titi.

Saat ini bagi aku Titi adalah masa lalu. Aku juga menghargai Risonto yang mengapresiasi blog ini. Jadi aku merasa it’s okay okay saja dengan uluran pertemanan Risonto .

Tapi tadi siang, ketika aku mau mengelompokkan teman-teman baru di FB, aku lihat nama Risonto sdh hilang.

Aku kirim message ke Risonto tentang hal ini. Aku kuatir kalau namanya ter-remove tanpa sengaja atau karena sistem FB, trus dia mengira aku yang remove.

Sesuai dugaanku, si Risonto mengaku bahwa dia pacar Titi dan bilang Titi nggak nyaman kalau kami berteman, jadi langsung dia remove aku dari friendlist. (*geleng-geleng kepala)
Dia juga bilang sebenarnya gak ada masalah pribadi, dstnya.

Lah trus ngapain kemarin invite? Trus ngapain diem-diem remove. Hehe kasihan banget laki-laki gak punya prinsip.

Atau jangan-jangan dia kayak si Cap Cay yang pengen pamer, “look! Titi is mine”

So, aku bilang sama mereka berdua : STAY AWAY!! ……

Ditengah repotnya gawean hari ini, rasanya mangkel banget dengan gangguan sampah kayak gitu.

Tapi kemudian aku malah prihatin sama mereka berdua.

Ngapain coba Titi masih nyeret-nyeret aku di dalam hidupnya; cerita tentang masa lalu kami sama pacar terbarunya: Risonto.

Sebut saja aku over kepedean; tapi memang Titi TIDAK AKAN PERNAH nemu orang yang bisa menyerahkan hati seutuh yang pernah aku berikan.

Sudah saatnya Titi dan dunia tahu : ketika aku memilih bersama Titi dulu, bapak aku mencoret aku sebagai anaknya, dan berpesan agar tidak menulis nama aku di nisannya suatu saat beliau dipanggil Tuhan kelak.

Tidak ada orang lain yang akan bersedia menjalani pilihan itu dan diperlakukan sebagaimana Titi memperlakukan aku selama ini.

Setelah kebersamaan kami, Titi hanya akan menerima secuil - dua cuil hati no 2, 3 atau 17 dari orang-orang yang berteriak, “Titi I love you full”

Demikian juga utk Risonto, dan pacar-pacar Titi berikutnya.
Hehehe… Apapun yang akan mereka lakukan, tidak akan pernah cukup di mata dan hati Titi.
Dan kalau aku saja diperlakukan seperti itu; hehe…yaaahhh…semoga saja mereka masing-masing diberi kebesaran hati dan keikhlasan …ketika saatnya tiba nanti.

Kehidupan selalu punya cara untuk menagih ‘karma’

Just watch the payback time guys!

Tuesday, July 06, 2010

.....koma

Posting ini didedikasikan bagi sahabat saya, Penjelajah Langit: cewek tangguh yang suka travelling dan nonton world cup, yang sedang bingung karena kucingnya hilang, punya blog keren, tapi juga suka baca blog ini :)


Jam 10 pagi.
Aku di warung sedang menyiapkan faktur pengiriman barang. Tiba-tiba terdengar decit keras suara ban direm…. Chiiiiiiiiiit…*DUBRAAKKK!!

Perempatan jalan di depan warung memang selalu ramai lalu lintas. Gak ada lampu merahnya.
Mangkanya lumayan sering terjadi kecelakaan.
Mangkanya gak tertarik nonton. Sudah biasa!

Tapi 3 detik kemudian aku lari keluar karena suara orang banyak yang berteriak-teriak panik.

Aku lihat di luar penuh orang. Ada sebuah mobil L300 warna biru tua.
Ban depan dan belakang sebelah kanan nangkring naik ke pembatas jalan. Jalan aspal di belakang mobil terdapat bekas benda terseret sejauh 10 meter.

Mobil itu menabrak tiang tanda lalu lintas sampai bengkok.

Di bagian kiri depan ada sebuah sepeda yang separonya berada di bawah mobil.

Tapi yang paling horor: diantara dua ban belakang terlihat sesosok tubuh diam dalam posisi meringkuk.

Orang-orang segera berusaha mengeluarkan tubuh itu.
Aku membayangkan mungkin ada bagian tubuhnya yang terlindas, dan akan ada darah dimana-mana. Ya Tuhan….

lokasi tabrakan, tiang tanda lalu lintas yang masih bengkok

Meski kolong mobil sudah agak tinggi karena 2 ban mobil sebelah kanan naik ke pembatas jalan, namun tetap saja orang-orang kesulitan mengeluarkan korban.
Akhirnya beberapa orang bersama-sama mengangkat mobil agar korban bisa ditarik keluar.

Korban ternyata masih abege. Usia 18-an.

Pingsan. Tentu saja.

Tapi masih hidup. Syukurlah!!

Herannya: gak ada luka parah.
Hanya luka baret di kening kiri dan lengan kanan. Itupun gak sampai berdarah-darah.
Korban langsung dibawa ke rumah sakit.

Seharian itu aku sibuk, jadi gak sempat apdet situasi selanjutnya.

Sorenya mas Teguh, pengemudi beca depan warung bercerita: si korban di bawa ke rumah sakit, sebentar kemudian siuman, shock namun hanya pegal-pegal dibadan.
Dokter juga tidak menemukan simptom gegar otak.
Luka-luka baret hanya diberi betadine. Siang itu langsung pulang ke rumahnya.

Syukurlah! Banyak orang sudah menduga korban akan tewas.
Kata si mas Teguh lagi: ibu dan bapak anak itu seneng banget dan menganggap ini ‘nyawa balen’ (kematian yg secara ajaib bisa terhindarkan). Aku ikut lega dan bersyukur.

Petang hari itu trending topic di lingkungan kami adalah korban tabrakan yang bisa lolos dari maut. Dibahas mulai dari kronologi, hingga bagaimana beruntungnya si anak itu bisa selamat dengan hanya luka kecil.

Banyak yang menganggap ini mujizat. Termasuk aku.

...........

Esoknya, dengan muka datar mas Teguh cerita lagi: malam hari itu, si anak mengeluh ulu hatinya gak enak.

Oleh bapak ibunya segera dibawa ke rumah sakit.

Belum sampai rumah sakit, anak itu meninggal. …..


Semalam aku ngomel kejadian ini sama Agil.

Ini dagelan kehidupan yang sangat amat tidak lucu. sungutku

Semua orang sudah terlanjur happy dan bersyukur karena anak itu selamat.
Eh kok malamnya meninggal juga! Betapa mengecewakannya......

Bukan berarti aku lebih senang anak itu langsung tewas di tempat. Tapi kalau akhirnya tewas juga, apa bedanya ditunda beberapa jam. Bukankah itu membuat kecewa karena terlanjur senang melihat anak itu selamat.
Jangankan keluarganya. Aku saja kecewa.

Rick Warren, penulis buku Purpose Driven Life pasti berkata, “oh itu pasti karena Tuhan punya tujuan….”

Riza apoteker penganut predestinasi itu pasti sms, “wis nasib-e mas….wkwkwkwkw”

Huh….


Namun, akhirnya aku dan Agil sepakat :

Bagi anak itu, mungkin gak ada bedanya tewas langsung atau tertunda beberapa jam. Ga ada tujuan atau manfaat baginya secara pribadi.

Tapi bagi orang tua dan keluarganya; itu sangat berarti. Bahkan mereka pasti bersedia membayar apabila perpanjangan hidup itu dikenakan biaya. Karena anak itu pasti sangat berharga bagi mereka.

Layaknya pertandingan sepak bola ‘world cup’ sekarang ini, perpanjangan waktu main 10 menit pun pasti akan sangat berharga. Mungkin bisa tercipta satu gol tambahan lagi.

Lanjut lagi: kalau tambahan hidup yang hanya beberapa jam itu sangat berharga….apalagi kalau aku sampai diberi kesempatan hidup lebih panjang; entah itu 3 bulan, 5 tahun, 12 tahun, 30 tahun, 49 tahun, atau mungkin bahkan 93 tahun lagi….pasti luar biasa tak ternilai.

WaaaAhhhh…

(*ngaku tidak pintar memanfaatkan waktu dalam hidup)

Saturday, July 03, 2010

inggih Gusti....



..... inggih Gusti, paring dawuh...


(*...baiklah Tuhan, bersabdalah...)