Really?
Setelah nonton Glee di episode Dream On, aku jadi mikir……...
Dikisahkan di episode itu: Bryan Ryan pengawas sekolah yang baru, berencana membubarkan Glee karena menganggap klub ini hanya menebar mimpi yang tidak realistis. Kata Ryan di depan anggota Glee:
(elo jangan bermimpi..) 91 % dari kalian setelah lulus akan tetap tinggal di Ohio, bekerja sebagai middle market insurance marketer atau pegawai panti jompo.
Impian hanyalah pengisi kekosongan dalam hidup kalian…
a discouraging speech indeed.
Tetap akhirnya Artie harus menelan kepahitan bahwa cedera tulang belakangnya terlalu parah, sementara belum ada teknologi kedokteran yang bisa menyembuhkannya.
Kolom Samuel Mulia di Kompas Minggu 27 Juni 2010, berjudul ‘Menyerah’ yang mengutarakan adanya pilihan ‘menyerah’ pada suatu tahap dalam memperjuangkan sesuatu.
Aku jadi mikir……
Semakin muda usia seseorang, biasanya makin tinggi impiannya.
Hampir tiap anak kecil selalu berucap ingin jadi presiden atau cita-cita setinggi langit lainnya.
Kayaknya gak ada anak kecil, remaja, bahkan dewasa muda yang berkata ingin jadi orang biasa yang bekerja setiap hari hanya untuk bertahan hidup….
Padahal kenyataannya mungkin 91% manusia menjalani hidup demikian; bekerja keras hanya agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Adalah kenyataan kehidupan yang sering membunuh impian seseorang, memadamkan kemampuannya untuk terbang ke langit ke tujuh.
I had a dream my life would be
So different from the hell I’m living
So different now from what it seemed
Now life has killed the dream I dreamed
(potongan lirik lagu 'Dream On')
Kadang hidup bermurah hati memberi pilihan, namun lebih sering dengan sadis memaksa seseorang ‘menerima nasib’.
Aku jadi mikir……
Trus kenapa seseorang kudu punya impian? Bukankah impian hanya menjadi beban yang berujung kekecewaan. Tidak bisakah seseorang hidup mengalir, nrimo ing pandum….
Sampai di batas mana kita boleh bermimpi…
Sampai sejauh mana kita harus berjuang menggapai mimpi itu…
Dimana peran Tuhan menentukan pencapaian mimpi kita? Bukankah Tuhan tahu yang terbaik? Bukankah impian tiap orang adalah kebaikan?
Apakah setelah kehilangan 2 impian besar dalam hidup, aku masih kudu tetap mempertahankan target tinggi impian lain yang mungkin tidak akan pernah tercapai? Mengapa tidak menyerah saja seperti tulisan Samuel Mulia?
Seperti seorang anak yang kemudian sadar bahwa sinterklas itu hanya halusinasi; sebaik apapun kelakuan aku, ortu aku tidak akan memberikan sepeda lewat cerobong asap….
Aaah…. Bikin gak bisa tidur......
Kayaknya gak akan nemu jawaban segera. Butuh perjalanan seumur hidup untuk bisa memahami ini.
Tapi toh sampai dititik ini aku mendapatkan pemikiran:
Kehidupan jelas membuat aku lebih realistis. Bisa membedakan ‘impian’ dan ‘visi’
Dan bagaimana mengubah impian jadi visi.
Impian adalah sesuat abstrak yang didasari ego, sementara visi lebih didasarkan pada situasi dan fakta yang ada di saat ini.
Bahwa untuk menggapai impian, ada pilihan-pilihan yang harus diambil serta pengorbanan yang kudu dilakukan.
Well… aku tidak percaya nasib tapi sebaliknya juga berpikir: berbeda dengan angkasa yang tidak terbatas, kehidupan sangat dibatasi waktu, serta dimensi lain.
Lalu juga….
Apakah berarti kepahitan-kepahitan yang sudah terjadi membuat aku menyerah?
TIDAK!
Aku sadar tidak akan jadi arsitek profesional lagi. Beberapa hari yang lalu aku juga sudah menolak tawaran mantan boss untuk kembali bergabung di konsultan arsitektur tempat dulu aku pernah bekerja.
Aku sudah bisa mulai tersenyum kalau mengingat kenangan bersama Titi; berdamai dengan diri sendiri dan mulai melihat bahwa ini situasi terbaik yang Tuhan berikan.
Namun saat ini masih banyak visi-visi lain yang saat ini patut dan sedang diperjuangkan: keluarga, pekerjaan, apresiasi diri, hubungan dengan teman-teman….hubungan dengan Tuhan (*sok religius)….
Hal-hal sederhana dalam kehidupan.
Semoga Tuhan menolong kita semua.