Bulan Februari yang lalu, ikut pelatihan tata cara ekspor yang diadakan PPEI
di Jakarta.
Beberapa peserta di pelatihan itu kemudian menjadi teman.
Salah
satunya adalah Fina, seorang auditor yang sedang mengembangkan produk tas
kanvas nya.
Dalam satu kesempatan, Fina bilang:
Pau, dulu pas pertama di
kelas; aku pikir kamu tuh orangnya serius dan galak lho. Sampai aku mau tanya
sesuatu saja takut. Ternyata kamu bisa santai dan guyon juga ya. Hehe.
Kemarin pas pameran di Hong Kong, hampir semua teman peserta
pameran juga mengatakan hal yang sama. Bahkan ada satu orang dari kemenkop bilang:
Pas liat foto pak Paulus, aku langsung mikir: orang ini pasti galak banget.
Iya, jawab Nanda.
Aku saja sampai takut pas ketemu pertama. Padahal
ternyata orangnya lucu, dan bisa jadi teman jalan yang seru.
Hahaha...
Nggak ngerti kenapa orang lain selalu menilai aku serius dan
galak.
Sering mendapati teman yang baru kenal, bicaranya sangat dijaga. Mungkin dipikirnya kalau salah ngomong, kepalanya langsung
aku caplok.
...mangkanya!...jangan judge a book by it’s cover, kata satu teman peserta pameran lagi.
Weleh..ini kok malah jadi dipikir aku semacam buku ber-cover.
Trus kira-kira buku apa? Resep masakan, teenlit, atau
stensilan.
Huhuhu.....
Aku yakin selain dinilai galak; pasti ada atribut lain yang
ditempelkan ke citra seorang Paulus Phoek. Entah pelit, rajin, malas, membosankan,
entah apa lagi.
Yang kemungkinan besar juga bukan yang sebenarnya.
Sebaliknya bisa jadi sebenarnya aku memang seseorang yang galak.
Kalaupun sekarang masih haha-hihi mungkin karena belum nyalain sumbu nya saja. Hehe.
Jika teman-teman baru ini saat ini bilang: 'senang
bisa kenal Paulus'; apakah mereka
benar-benar sudah mengenal Paulus yang sebenarnya.
Sebaliknya juga: apakah aku benar sudah mengenal citra
sejati teman-teman ini ?
Do we ever really likes a person or just with our idea of
who (s)he is?
Salah satu peserta pameran di Hongkong kemarin: mb. Ayu, pengusaha handicraft dari
Bali.
Pengetahuan dan pengalaman ekspornya sudah tingkat raja-nya
dewa.
Bayangkan saja: dia pernah ikut
pendidikan khusus tentang ekspor-impor dan buyer management 1 tahun di Singapur, dan 2 tahun di US.
Selain sebagai pebisnis, mb. Ayu juga sering jadi narasumber
di pelatihan-pelatihan bisnis dan ekspor-impor.
Waktu aku minta diajarin soal ekspor, dia jawab:
Ekspor itu gampang!
Mas Paulus punya kendala ekspor; saya akan bantu. Tapi sebelumnya
penting untuk kita tahu : “Siapa Saya”.
Siapa mas Paulus, hanya mas Paulus yg bisa jawab. Kemampuan,
semangat, cita-cita, idealisme...
Dari sana baru kita akan berbicara pengembangan bisnis MicaWork; ekspor nya,
dll.
Kalau kita sudah tahu “siapa saya”, nanti semua masalah dan kendala bisnis akan
terpecahkan sendiri kok.
Aku disuruh bikin analisa SWOT pribadi dan usaha.
Kita bahas bersama. Katanya lagi
Selama pameran kemarin; kalau ada waktu senggang mb. Ayu
banyak bercerita tentang kasus-kasus yang pernah dia hadapi; pengalaman kerja dan
bisnisnya; jatuh bangun bisnisnya; pengalaman rugi ratusan juta dan bangkrut
karena ekspor; dll
Mb. Ayu juga mereview harga produk MicaWork yang aku
pamerkan.
Rasanya beruntung banget ikut pameran di Hong Kong ini: bisa
test pasar, dapat buyer, dapat duit penjualan retail, branding MicaWork di
Hongkong; juga mendapatkan mentor yang sangat okeh.
Mangkanya seneng banget pas 5 hari yang lalu mb. Ayu telpon mau nginap dua malam di Solo. Dia mau ke Blora
kulakan kayu jati
Selama di Solo,aku menemaninya sambil terus dapat kuliah tentang bisnis dan menggali
“siapa saya” melalui cerita-cerita
pengalaman hidupnya.
Tercerahkan banget!
Caranya bercerita bagus, nggak menggurui.
Tapi bisa bikin
aku berefleksi : bagaimana aku harus mengembangkan bisnis MicaWork; membangun platform usaha yang sebenarnya sudah
aku gagas 5 tahun yang lalu.
Satu hal prinsip yang aku tangkap adalah aspek sipritualitas
dalam kehidupan kita.
Mb. Ayu, yang penganut Hindu ini banyak bercerita tentang
peranan ketaatan religius dalam kehidupan bisnisnya.
Jadi menarik sekali, karena penerapan agama Hindu bagi orang
Bali sangat kaya dengan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Hari itu sebelum mengantarnya ke bandara; aku ajak mb. Ayu menemui
seorang kenalan: sebut saja Pak Budi, seorang kontraktor, pengusaha mebel, dll yang lumayan terkenal
bahkan di skala internasional.
Salah satu karyanya adalah kompleks bangunan kantornya yang
dibangun dari material sisa-sisa limbah proyek: potongan besi dan kayu yang oleh orang
lain sudah dijadikan sampah.
Orang-orang di dunia desain Indonesia pasti pernah
mendengar/baca/ atau bahkan melihat langsung bangunan ini.
Terakhir kali bertemu Pak Budi dan mengunjungi kantornya
mungkin 2 tahun yang lalu. Rasanya kagum dengan bangunan yang diciptakannya.
Suasananya megah dan teduh.
Tapi ketika kemarin sampai disana, rasanya kaget; ada rasa
yang beda.
Suasana di dalam dan diluar bangunan terasa suram dan kumuh. Gak
terawat baik. Padahal nampak pembangunan-pembangunan baru di sayap kanan-kiri bangunan.
Kami sempat ngobrol lama dengan pak Budi yang kembali
bercerita dengan sangat bangga tentang bangunan kantornya yang dibangun dengan “sampah”.
Aku simpan dalam hati saja : kesan bangunan dan lingkungan
yang meredup tadi.
Ketika akhirnya kami pulang; dipintu pagar; mb. Ayu
menunjuk sebatang pohon banyan, dan berkata,
mas Paulus; coba lihat ya, dalam
waktu tidak lama usaha pak Budi ini akan menghadapi masalah. Pohon banyan ini
menyerap energi bangunan dan aktifitas di sini.
Rasakan saja aura bangunan yang sangat redup.
Mb. Ayu kemudian menjelaskan bagaimana budaya Bali; aturan
membangun rumah : Hasta Kosala Kosali yang misalnya mengatur jenis bahan
bangunan yang dipakai membangun rumah.
Nampaknya kombinasi pohon banyan dan bangunan berbahan “sampah”
tadi sangat buruk dan bahkan mengundang mahluk “gak jelas”. Bikin bangunan
dihuni mahluk gaib.
Sopir mobil taksi yang mendengar pembicaraan kami;
membenarkan.
Iya mas. Yang dikatakan mbak-nya benar. Tadi saya di depan ngobrol dengan satpam,
katanya sisi belakang yang difungsikan sebagai kantor sangat angker. Gak ada
yang berani masuk sana kalau sudah malam. Padahal dulu gak seperti itu.
Wew!
Dengan nada guyon; aku tanyakan, mb. Ayu,
Terus apa yang
harus dilakukan pak Budi agar terhindar dari masalah ini?
Ya, bangunan itu harus diobohkan diganti dengan bangunan
yang baik.
Masalahnya, bangunan itulah yang menjadi kebanggaan
terbesarnya saat ini. Jawab mb. Ayu.
Setelah menurunkan mb. Ayu di bandara; dengan ditambah
situasi pak Budi aku jadi mikir panjaaannnnng...
tentang “siapa saya”
tentang kebanggan-kebanggan yang aku miliki dan perjuangkan.
tentang nilai-nilai kehidupan yang saya terapkan
Benarkah ini saya yang sebenarnya?
Seperti pak Budi tadi; bangunan kebanggaanya justru adalah
sumber bencana yang sedang mengintainya.
Jadi,
Siapakah Saya ?