Pages

Monday, November 29, 2010

Cakra Manggilingan

Dalam dunia wayang, ada satu senjata pusaka bernama Cakra Manggilingan. Senjata ini berwujud roda yang bila dilemparkan pasti mengenai sasarannya.
Cakra = lingkaran, roda. Manggilingan = berputar.
Seingat aku, pemilik senjata pusaka ini Batara Kresna.


Bagi beberapa orang, pusaka ini menggambarkan fase kehidupan yang konon seperti roda yang berputar, titiknya akan selalu berubah kadang di bawah, kadang di atas.
Aku gak tahu persis apakah semua kehidupan layaknya putaran roda. Mungkin ada orang yang kehidupannya sedatar papan seluncuran ski. Tapi yang jelas setiap kehidupan manusia mengikuti fase dan siklus tertentu. Dari kelahiran hingga kematian.

Seandainya kehidupan digambarkan seperti roda, aku jadi membayangkan ada yang diameternya kecil kayak roda motor Vespa tapi juga ada yang sebesar roda dokar.
Roda Vespa ibarat kehidupan yang dinamis; hari ini susah tapi besok sukses. Rotasinya pendek.
Sedangkan roda dokar memiliki rotasi yang lebih panjang. Kalau masa suksesnya yang lama sih okay, tapi kalau trus masuk fase susah yang juga panjang: wew amit-amit!!

Aku akan kesulitan seandainya disuruh memilih: roda Vespa atau roda dokar. Kalau bisa opsi lainnya saja: roda mobil Bentley: kalau pas fase susah, rodanya bisa digadaikan; jelas harganya sangat mahal. Haha..

Masa paling bahagia dalam hidup aku adalah masa-masa setelah lulus SMA di Yogya. Waktu itu Yogya masih kota pelajar buanget: tenang, murah, humanis. Gak bluwek kayak sekarang.

Kegiatan utama setiap sore ikut kursus persiapan Toefle di IKIP Yogya (sekarang UNY) dari jam 4 sore sampai jam 7malam. Teman2 kursus sudah mahasiswa, dosen, bahkan pejabat. Meski aku yang paling muda, tiap ada test selalu mendapat nilai tertinggi. (doooh! dulu aku kok pinter banget, gak kayak sekarang……)
Selain kursus, kegiatan waktu itu hanya nongkrong di Gramedia, di Lembaga Indonesia Perancis yang di Sagan, naik sepeda balap muter malioboro 7 kali, nonton bioskop di Mataram theater… what a life!
Ketika SMA, 80% teman sekolah berasal dari luar Yogya dan saat itu semuanya sudah balik kota masing2, jadi hampir gak ada teman di Yogya.
Tapi rasanya saat itu adalah masa-masa paling tanpa beban. Sebahagia dan sebebas emprit.
Hari-hari ini, memang bukan masa-masa ‘terbaik’, karena beban tanggung jawab makin besar sehingga sudah gak bisa menjalani hidup ‘semau gue’. Serasa artis laris yang sudah dipatok jadwal ketat: hari ini kudu show disini, besok disana, besoknya di mana lagi…..

Kadang kangen dengan masa setelah lulus SMA, meski bukan berarti pengen balik ke masa itu, karena aku yakin saat ini aku sedang berjalan di jalur yang benar. Ibarat roda, meski tidak di posisi atas, tapi aku mengarah pada tujuan yang seharusnya.

Dalam kehidupan yang telah lalu tentu saja aku pernah mengalami masa yang lebih berat, tapi karena aku selalu menyaksikan penyertaan Tuhan pada saat surut dimasa lalu, maka aku yakin saat ini pun Tuhan masih akan selalu setia menyertai dan siap menopang kapanpun aku merasa lelah.

Seperti lagu de’Masiv: hidup itu sendiri sudah suatu anugerah, jadi apapun situasinya jangan sampai pernah menyerah menghadapinya.


Enihau,
Beberapa hari lalu rasanya stress banget.
Tapi Jumat, 5 November malam ketemu dan ngobrol dengan seorang teman yang suka tersenyum.
It’s a magic! Rasanya stress aku hilang.
Ternyata senyum bisa seampuh senjata pusaka. Membuat aku bisa melihat masalah dari perspektif yang berbeda.
Malamnya aku tidur berbekal senyum.
I’m quite happy. Thank’s

1 comment:

Arema said...

Kamu SMA nya dimana dear? De Britto?