Beberapa peristiwa akhir-akhir ini membuat aku makin yakin pada pemikiran bahwa hidup adalah serangkaian pilihan.
Sampai-sampai sebulanan ini topik utama obrolan aku dengan semua orang berawal dan bermuara ke pemikiran itu : Opto, Ergo Sum semboyan populer yunani yang artinya : aku memilih, karena aku ada.
Tapi meski ngobrol sampe mabok, rasanya seperti memandangi kolam ikan berair keruh. Aku ga bisa menangkap apa yang ada di dasar kolam itu.
Hingga ada 2 orang yang membuat perenungan aku mencapai titik kulminasi, membuat otak aku kayak komputer habis di defrag, menembus kekeruhan air melihat mutiara yang di dasar kolam.
Yang pertama adalah Caroline, teman yang sudah lama kehilangan kontak, thank’s to the Facebook jadi ketemu lagi. Suatu malam kami ngobrol di FB messenger, aku mengutarakan kegelisahanku memahami prinsip hidup tersebut: hidup adalah pilihan.
Dengan satu kalimat pendek Caroline memberi pencerahan: 'Pau, menurut aku hidup adalah keputusan.'
KLING!
Aku sempat tercenung sekian detik. Rasanya seperti melihat sekerjat cahaya di dalam labirin gelap. Secercap ekstasi!
“pilihan selalu ada, tapi adalah tugas kita untuk mengambil keputusan, kalau kita hanya memilih tanpa mengambil keputusan, kita akan selalu hidup dalam pencarian”
“ketika kita sudah memutuskan, jalani dengan segenap hati, biarlah Tuhan yang bekerja melaluinya”
Kata kuncinya adalah : keputusan.
“pilihan” adalah kata benda, pilihan akan selalu menjadi pilihan. Abstrak. Quo Vadis.
Tapi kata ‘keputusan’ memiliki makna yang lebih, sebuah ‘keputusan’ diikuti sebuah tindakan untuk mewujudkannya.
Begitu kira2 yg aku temukan. AWESOME!!! Caroline emang seperti kilat! Sekejap tapi tepat sasaran. Seseorang yang sangat lugas menentukan jalan hidupnya sendiri. Sekali lagi dia sudah menandai sebuah titik dalam hidup saya.
Sayang koneksi internet dia trus putus…. Jadi ga bisa ngobrol lebih jauh.
Tapi pencerahan yang diberikan Caroline jadi pijakan ke pemahaman berikutnya.
Orang kedua adalah Kenneth (bukan nama sebenarnya, tapi ada di FB saya). Kenneth brondong berusia 19 tahun, dikenalin Arief seorang teman di Jakarta. Persis seperti gambaran Arief tentang Kenneth: pintar, batak tapi jawa banget, wise: malah rada old soul.
Akhir tahun kemarin, si Kenneth yang anak STAN ini mudik ke boyolali, trus dia menyempatkan ke Solo. Kami jalan ke Gramedia, menjarah buku2 obral trus makan ke pizza hut.
Kenneth yang anggota tim debat di kampusnya, bahasa inggrisnya superb. Aku kalah.
Ngobrol ngalor ngidul, dia bercerita tentang bapaknya yang disebutnya “bajingan” (eits! Sumpah dia loh yang ngomong gitu) meninggalkan ibu, dia dan adiknya. Kenneth menggambarkan si bapak terjirat masalah duit dan menjalin hubungan yang tidak bertangung jawab.
Yang bikin ngilu ketika Kenneth yang semuda itu bilang, “…dan saya kuatir bisa menjadi seperti dia….”
To Ridho: Eitzz!! …… jangan asal bilang “ga mungkin”!!!
Itu bisa banget terjadi! Pernah dengar pepatah like father like son?, Do you recall what DNA for? DNA tidak hanya menurunkan warna rambut, kulit, bentuk tubuh, namun juga watak dan kepribadian. That’s why orang jawa memilih jodoh dengan ukuran bibit, bobot, bebet : keturunan, kekayaan dan ketrampilan.
Dengan ditemani tiramisu, choco delight for him, black coffee for me; aku dan Kenneth jadi merajang pemikiran Opto, Ergo Sum.
Pertama aku menularkan pencerahan Caroline bahwa kata kuncinya adalah keputusan. Bahwa akhirnya kita yang punya kekuatan untuk memilih dan memuruskan kehidupan yang kita inginkan. Berbicara tentang masa depan, justru merupakan blessing n disguise ‘ketika kita melihat orang lain sebagai ‘kaca benggala’
Seperti kata Kenneth : hal-hal baik menjadi pemicu semangat, hal-hal buruk menjadi benchmark kehidupan yang kudu dihindari. (pake bahasa inggris, oy!)
Aku jadi menjiplaknya pada beberapa situasi kehidupan aku sendiri: pekerjaan, kehidupan rohani, hubungan dengan keluarga dan teman2, rencana masa depan, relationship dengan garwa….
WAW!!!
Senang sekali bisa bersama brondong satu ini belajar memahami kehidupan.
Thank's kid! You know I believes that you will lead a fine life.
Ada satu lagi…
Beberapa tahun yang lalu, aku dan Titi nonton film Jomblo, dikisahkan tokoh yang diperankan si Ringgo, udah punya pacar, namun menjalin cinta dengan cewe lain yang lebih cantik, sabar dan pengertian.
Tapi akhirnya ketika si tokoh itu kudu memilih, dia memilih kembali pada cewenya yg pertama: yang judes, dll.
Karena memang memilih tidak akan ada batasnya, selalu ada saja yang lebih baik. Hingga pada satu titik kita kudu memutuskan. Bukan karena dibatasi waktu, tempat atau nafsu, tapi karena hati kita berkata: ini keputusan saya.
gambar diambil dari sini
Sampai-sampai sebulanan ini topik utama obrolan aku dengan semua orang berawal dan bermuara ke pemikiran itu : Opto, Ergo Sum semboyan populer yunani yang artinya : aku memilih, karena aku ada.
Tapi meski ngobrol sampe mabok, rasanya seperti memandangi kolam ikan berair keruh. Aku ga bisa menangkap apa yang ada di dasar kolam itu.
Hingga ada 2 orang yang membuat perenungan aku mencapai titik kulminasi, membuat otak aku kayak komputer habis di defrag, menembus kekeruhan air melihat mutiara yang di dasar kolam.
Yang pertama adalah Caroline, teman yang sudah lama kehilangan kontak, thank’s to the Facebook jadi ketemu lagi. Suatu malam kami ngobrol di FB messenger, aku mengutarakan kegelisahanku memahami prinsip hidup tersebut: hidup adalah pilihan.
Dengan satu kalimat pendek Caroline memberi pencerahan: 'Pau, menurut aku hidup adalah keputusan.'
KLING!
Aku sempat tercenung sekian detik. Rasanya seperti melihat sekerjat cahaya di dalam labirin gelap. Secercap ekstasi!
“pilihan selalu ada, tapi adalah tugas kita untuk mengambil keputusan, kalau kita hanya memilih tanpa mengambil keputusan, kita akan selalu hidup dalam pencarian”
“ketika kita sudah memutuskan, jalani dengan segenap hati, biarlah Tuhan yang bekerja melaluinya”
Kata kuncinya adalah : keputusan.
“pilihan” adalah kata benda, pilihan akan selalu menjadi pilihan. Abstrak. Quo Vadis.
Tapi kata ‘keputusan’ memiliki makna yang lebih, sebuah ‘keputusan’ diikuti sebuah tindakan untuk mewujudkannya.
Begitu kira2 yg aku temukan. AWESOME!!! Caroline emang seperti kilat! Sekejap tapi tepat sasaran. Seseorang yang sangat lugas menentukan jalan hidupnya sendiri. Sekali lagi dia sudah menandai sebuah titik dalam hidup saya.
Sayang koneksi internet dia trus putus…. Jadi ga bisa ngobrol lebih jauh.
Tapi pencerahan yang diberikan Caroline jadi pijakan ke pemahaman berikutnya.
Orang kedua adalah Kenneth (bukan nama sebenarnya, tapi ada di FB saya). Kenneth brondong berusia 19 tahun, dikenalin Arief seorang teman di Jakarta. Persis seperti gambaran Arief tentang Kenneth: pintar, batak tapi jawa banget, wise: malah rada old soul.
Akhir tahun kemarin, si Kenneth yang anak STAN ini mudik ke boyolali, trus dia menyempatkan ke Solo. Kami jalan ke Gramedia, menjarah buku2 obral trus makan ke pizza hut.
Kenneth yang anggota tim debat di kampusnya, bahasa inggrisnya superb. Aku kalah.
Ngobrol ngalor ngidul, dia bercerita tentang bapaknya yang disebutnya “bajingan” (eits! Sumpah dia loh yang ngomong gitu) meninggalkan ibu, dia dan adiknya. Kenneth menggambarkan si bapak terjirat masalah duit dan menjalin hubungan yang tidak bertangung jawab.
Yang bikin ngilu ketika Kenneth yang semuda itu bilang, “…dan saya kuatir bisa menjadi seperti dia….”
To Ridho: Eitzz!! …… jangan asal bilang “ga mungkin”!!!
Itu bisa banget terjadi! Pernah dengar pepatah like father like son?, Do you recall what DNA for? DNA tidak hanya menurunkan warna rambut, kulit, bentuk tubuh, namun juga watak dan kepribadian. That’s why orang jawa memilih jodoh dengan ukuran bibit, bobot, bebet : keturunan, kekayaan dan ketrampilan.
Dengan ditemani tiramisu, choco delight for him, black coffee for me; aku dan Kenneth jadi merajang pemikiran Opto, Ergo Sum.
Pertama aku menularkan pencerahan Caroline bahwa kata kuncinya adalah keputusan. Bahwa akhirnya kita yang punya kekuatan untuk memilih dan memuruskan kehidupan yang kita inginkan. Berbicara tentang masa depan, justru merupakan blessing n disguise ‘ketika kita melihat orang lain sebagai ‘kaca benggala’
Seperti kata Kenneth : hal-hal baik menjadi pemicu semangat, hal-hal buruk menjadi benchmark kehidupan yang kudu dihindari. (pake bahasa inggris, oy!)
Aku jadi menjiplaknya pada beberapa situasi kehidupan aku sendiri: pekerjaan, kehidupan rohani, hubungan dengan keluarga dan teman2, rencana masa depan, relationship dengan garwa….
WAW!!!
Senang sekali bisa bersama brondong satu ini belajar memahami kehidupan.
Thank's kid! You know I believes that you will lead a fine life.
Ada satu lagi…
Beberapa tahun yang lalu, aku dan Titi nonton film Jomblo, dikisahkan tokoh yang diperankan si Ringgo, udah punya pacar, namun menjalin cinta dengan cewe lain yang lebih cantik, sabar dan pengertian.
Tapi akhirnya ketika si tokoh itu kudu memilih, dia memilih kembali pada cewenya yg pertama: yang judes, dll.
Karena memang memilih tidak akan ada batasnya, selalu ada saja yang lebih baik. Hingga pada satu titik kita kudu memutuskan. Bukan karena dibatasi waktu, tempat atau nafsu, tapi karena hati kita berkata: ini keputusan saya.
gambar diambil dari sini
3 comments:
Aku setuju kalau hidup adalah keputusan. Setuju banget. tapi aku punya pendapat lain. Hidup adalah tujuan, karena a man who standing for nothing will fall for anything.
Btw, fb nya apa pras?
ga sengaja nemu tulisan blog ini
thanks banget, saya menjadi tercerahkan..di saat2 yg memang saya memang sedang butuh pencerahan utk masalah/dilemma hidup yg saya lagi hadapi ini. dan mungkin saja saya lebih tua dari km (sy umur 29), but, being wise sometimes doesn't know Age :)
so once again, thanks yaa for sharing this, whoever you are :)
Gbu.
oya btw kalo boleh minta FB nya sekalian ya, saya selalu senang 'connect' & making friends dengan orang2 yg sering berpikir tentang kehidupan :)
my FB: nikiwonoto@gmail.com
just add me :)
Post a Comment