Waktu masih kecil, aku ingat mama mengisi 2 kendi air yang diletakkan di depan ruko tempat kami tinggal.
Kalau ga salah itu sekitar akhir th 60 – awal th 70-an.
Ruko kami terletak dipersimpangan pusat pertokoan di Solo sehingga banyak sekali orang yang berlalu lalang.
Kala itu, even untuk beli sebuah senter atau lampu petromaks, penduduk Wonogiri (40 km selatan kota Solo) masih kudu ke kota Solo.
Dan masih jamak untuk menyediakan kendi berisi air minum di tempat umum, dan orang2 bebas dan merasa aman untuk minum air kendi itu.
Beberapa tahun kemudian kami pindah ke daerah lain, namun menyediakan kendi minum masih dilakukan. Aku juga masih ingat mama selalu mengingatkan para pembantu untuk memeriksa dan mengisi 2 kendi besar yang diletakkan di sebuah bangku depan rumah.
Saat ini ?
Kayaknya ga bakal ada yang mau repot2 menyediakan air minum di depan rumahnya. Ini mungkin merefleksikan egoisme + individualisme manusia yang semakin tinggi.
Namun, seandainya ada pun, kayaknya ga bakal ada yg sudi minum; “siapa berani menjamin kelayakan airnya untuk diminum”
Padahal kalau dipikir manusianya juga masih sama : masih bisa haus dan butuh air minum.
(Manusia juga makin komersial: kalau air minum bisa dijual..kenapa tidak?)
Banyak tempat umum di luar negeri disediakan drinking fountain, bentuknya sekilas seperti wastafel dengan kran yang dapat mengeluarkan air layak minum.
Kalau di Indonesia mungkin belum dapat diterapkan, ga lebih dari 2 bulan pasti sudah rusak dikerjain orang iseng atau bakal ada warung es teh buka disebelahnya. Dan be sure orang kudu beli.
Siapapun pasti juga pernah mengalami haus banget dalam perjalanan dan ga bisa minum : ga ada yg jual minuman atau ga uang untuk beli air.
Mangkanya kalau aku melihat polisi yang kadang datang mengatur lalin depan toko atau siapapun yang kayaknya butuh air, aku selalu minta teman2 untuk menawarkan minum. Even cuma aqua gelas.
Tapi itu lebih cocok dengan sosiologi manusia perkotaan saat ini, dibanding nyediaan kendi air minum. Salah2 malah di masukin yg aneh2 atau malah dipecahin. THAR!
Ehm, hari ini rasanya aku sedikiiit tambah pinter.
Kalau ga salah itu sekitar akhir th 60 – awal th 70-an.
Ruko kami terletak dipersimpangan pusat pertokoan di Solo sehingga banyak sekali orang yang berlalu lalang.
Kala itu, even untuk beli sebuah senter atau lampu petromaks, penduduk Wonogiri (40 km selatan kota Solo) masih kudu ke kota Solo.
Dan masih jamak untuk menyediakan kendi berisi air minum di tempat umum, dan orang2 bebas dan merasa aman untuk minum air kendi itu.
Beberapa tahun kemudian kami pindah ke daerah lain, namun menyediakan kendi minum masih dilakukan. Aku juga masih ingat mama selalu mengingatkan para pembantu untuk memeriksa dan mengisi 2 kendi besar yang diletakkan di sebuah bangku depan rumah.
Saat ini ?
Kayaknya ga bakal ada yang mau repot2 menyediakan air minum di depan rumahnya. Ini mungkin merefleksikan egoisme + individualisme manusia yang semakin tinggi.
Namun, seandainya ada pun, kayaknya ga bakal ada yg sudi minum; “siapa berani menjamin kelayakan airnya untuk diminum”
Padahal kalau dipikir manusianya juga masih sama : masih bisa haus dan butuh air minum.
(Manusia juga makin komersial: kalau air minum bisa dijual..kenapa tidak?)
Banyak tempat umum di luar negeri disediakan drinking fountain, bentuknya sekilas seperti wastafel dengan kran yang dapat mengeluarkan air layak minum.
Kalau di Indonesia mungkin belum dapat diterapkan, ga lebih dari 2 bulan pasti sudah rusak dikerjain orang iseng atau bakal ada warung es teh buka disebelahnya. Dan be sure orang kudu beli.
Siapapun pasti juga pernah mengalami haus banget dalam perjalanan dan ga bisa minum : ga ada yg jual minuman atau ga uang untuk beli air.
Mangkanya kalau aku melihat polisi yang kadang datang mengatur lalin depan toko atau siapapun yang kayaknya butuh air, aku selalu minta teman2 untuk menawarkan minum. Even cuma aqua gelas.
Tapi itu lebih cocok dengan sosiologi manusia perkotaan saat ini, dibanding nyediaan kendi air minum. Salah2 malah di masukin yg aneh2 atau malah dipecahin. THAR!
Ehm, hari ini rasanya aku sedikiiit tambah pinter.
No comments:
Post a Comment