Pages

Saturday, September 26, 2009

Dr. Cai Ming Jie Ph. D (Tukar Nasib Part 2)

Tulisan ini sekuel dari tulisan sebelumnya : Tukar Nasib...Mau?

Dr Cai Ming Jie Ph.D adalah seorang kawula Singapore lulusan Stanford University, sebuah universitas top yang termasuk 5 besar di Amerika. Setelah lulus Dr. Cai bekerja di Institute of Molecular and Cell Biology (IMCB). Jabatan terakhirnya adalah kepala peneliti bidang genetika sel.

Kualifikasi seorang Dr. Cai menjadi impian dan doa banyak orang: pintar, gelar maksimal dari universitas ternama, serta jabatan mantab di institusi kelas dunia. Sebagai peneliti kelas dunia, karya ilmiahnya sudah banyak terdokumentasikan di Web of Science.

Semua orang pasti akan berpendapat saat ini Dr. Cai sudah bisa mencapai fase aktualisasi diri ala diagram Maslow. “Mustinya” soal materi ga akan jadi masalah! Dr. Cai akan bisa kerja dimanapun dia mau, universitas top markotop pasti akan rebutan Dr. Cai sebagai kepala departemen R&D nya atau minimal dosen.

Ga usah lewat test penerimaan CPNS, negara manapun pasti mau merekrutnya; secara profesi bidang bioteknologi adalah bidang yang prospeknya bagus dan sangat diperlukan (*katanya sih).

Tapi dunia berlari dengan cepat. Paradigma kehidupan berubah hanya dalam semalam. Setelah bekerja selama 16 tahun di IMCB, akhirnya Dr. Cai kehilangan pekerjaan dan setelah menganggur 3 bulan terpaksa menjadi supir taksi di Singapura.

Dr Cai Ming Jie PhD tidak sendirian.
Douglas Prasher menghadapi situasi yang sama.
Ilmuwan peneliti Amerika ini berhasil mengisolasi gen yang bisa menghasilkan protein bersinar hijau dan nyaris meraih penghargaan Nobel 2008.
Prasher pindah dari sebuah lembaga penelitian ke lembaga lain ketika dana penelitiannya habis. Pada akhirnya ia berhenti menggeluti sains, dan beralih menjadi sopir antar-jemput di Alabama .



Kenapa bisa begitu ?

Hehe…sekali lagi, once more, sepindah malih:
setiap hari dunia berubah, kawan!
Demikian pula paradigma kehidupan.

Di masa lalu seseorang akan memilih sebuah bidang studi, kemudian fokus pada bidang itu hingga menjadi profesi. Kuliah di kedokteran ya jadi dokter, kuliah di arsitektur ya jadi arsitek, kuliah di fakultas ekonomi kalau ga jadi akuntan ya jadi marketer asuransi…(*plak!)

Namun situasi dan sistem ekonomi dunia, filosofi bisnis, peta politis, sistem ketenaga kerjaan dstnya mengubah dunia kerja. Antara lain: saat ini lebih dibutuhkan seseorang yang bisa mengerjakan beberapa keahlian sekaligus: akuntansi dan hukum; komputer dan bisnis, mekanikal dan marketing……
(*mangkanya dulu aku selalu bilang: les bahas inggris yang serius!!)

Pola ikatan kerja juga sudah berubah. Idealisme ‘pekerja tetap seumur hidup’ dan jadi PNS mustinya hanya pantas menjadi paradigma kehidupan orang2 yang hidup di tahun 70-an. Pola out-sourcing seharusnya justru menjadi bentuk ikatan kerja yang bisa menguntungkan semua pihak.
Bisa dipastikan yang teriak-teriak mengutuk ikatan kontrak dan out source adalah tenaga kerja dengan daya saing, daya juang dan utilitas rendah.
Karena di era globalisasi ini, bisnis-bisnis model lama bisa hilang sekejap dalam satu malam, kemudian muncul bisnis yang baru, yang menjadi masalah bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri.

Apakah itu kemudian berarti :
  • ga usah kuliah tinggi-tinggi
  • jalani saja yang ada sekarang, besok urusannya dipikir besok
  • nglamar kerja jadi arsitek, at the same time juga nglamar kerja jadi dosen
  • cukup dengan bentuk usaha dan bisnis yang ada sekarang

ya gak gitulah! Bodoh!

Kalau orang sekelas Dr. Cai saja akhirnya hanya menjadi supir taksi, bagaimana dengan kesempatan karier yang bisa diperoleh sesorang yang kerjaannya hanya ngapdet status di pesbuk melulu…

Kehidupan di era global ini berubah dengan cepat dan serba tak terduga. Karena itu diperlukan fleksibilitas tinggi dalam menghadapi perubahan ini. Dan fleksibilitas itu terbentuk dari kemampuan akademis yang baik, serta karakter pribadi yang terlatih.

(tapi beda loh ‘fleksibilitas’ dengan ‘plin-plan’)

"Pengalaman adalah raja," seharusnya menjadi slogan dekade ini. Dan seharusnya seseorang mau mendapatkannya meski dengan magang tanpa bayaran.

Satu lagi, manifestasi ‘mensyukuri’ kehidupan yang sudah dilakoni saat ini. Adakah itu dengan suatu tanggung jawab menjalani sepenuh Hati, atau sekedar ‘kembang bibir’.

Belajar dari kasus Dr. Cai, sebagai ‘pengelola warung’ aku juga berusaha melihat pola perdagangan, pelayanan jasa, employment, serta penanganan bisnis pada tahun 5-10 tahun yang akan datang.

Meski jadi supir taksi bukan pekerjaan buruk, tapi aku lebih senang jadi penumpang. Penumpang pesawat. Hehe…

Blog si Dr. Cai klik di sini.

(keren ya si Cai ini : supir taksi bergelar PhD, punya blog lagi!)hehe...

No comments: