Beberapa hari ini betah banget nonton
So You Think You Can Dance :
reality show nge-dance yang sedang di tayang serempak di chanel
SET, serta
AXN. Kadang sampai jam 2 pagi. Meski kalau liat jurinya yg suka teriak-teriak; si Mary Murphy, pengen aku jebret bibirnya.
Persis kayak kucing kawin! Tapi aku bukan mau nulis tentang acara itu, posting kali ini didedikasikan untuk seorang teman berinisal R. Tinggal di Malang, bau matahari, yang ga mau punya teve apalagi Indovison. Huhu…
Aku hanya pengen berbagi cerita saja sama dia. Kalau pake sms bikin hape konslet.
Posting ini bukan nyindir, bukan nguueeeece!...... Suueerrrrr!!
So, here it is.
Akhir september kemarin di Servis24, dibentuk divisi baru: Mobile Support.
Fungsinya lebih pada operasional antar-jemput, kunjungan dealer harian, dsbnya; yang tidak membutuhkan kualifikasi skill teknik; ibarat mantan loper koran juga oke!
Aku mendapat beberapa rekomendasi personil, salah satunya bernama Edi.
Edi lahir tahun 1986 di Wonogiri. Sekolah hanya sampai SMP karena ga punya biaya. Sempat jadi buruh bangunan selama 2 tahun di Wonogiri kemudian mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di Bekasi.
3 tahun kemudian diterima di sebuah café di bekasi juga; sebagai tukang bersih-bersih, dilatih dan akhirnya menjadi barista dan koki untuk bagian desert.
(Dari Edi ini saya tahu ekstraksi kopi espresso yang optimal seharusnya sekitar 22 detik!)
Gaji terakhirnya 1,5 juta belum termasuk bonus dan tips. Catet!: lulusan smp loh! Bukan Sarjana!
Namun setelah lebaran kemarin dia dan isterinya memutuskan keluar dari pekerjaan mereka masing-masing dan kembali ke Solo, bahkan sebelum ada pekerjaan pengganti.
Bagi aku ini situasi yang aneh.
Ketika aku tanyakan tentang hal ini, dia menjawab:
Saya harus lebih dekat dengan ibu saya yang sudah sepuh. Belum lama ini ibu saya menjalani operasi (*aku lupa penyakit apa). Kalau saya tinggal di Solo, saya bisa lebih sering mengunjungi ibu saya.
Sementara belum mendapat pekerjaan, saya akan membantu di bengkel sepeda motor saudara ipar saya.
Trus aku coba tanyakan rencana hidupnya. Dia menjawab,
Ketika saya mulai bekerja, saya pengen bisa memiliki motor sendiri dan menikahi pacar saya sejak SMP. Itu sudah berhasil saya capai.
Nantinya saya pengen punya usaha warung di kampung saya. Bukan warung besar, cukup yang kecil tapi komplit. Namun saya belum punya modalnya.
Saat ini rencana saya berikutnya adalah punya rumah sendiri.
Saya mangut-mangut, lumayan juga orang ini. Kebanyakan orang seusia dia masih mikir "bagaimana caranya beli blekberi", tapi dia sudah sampai tahap punya rumah.
Mas Edi punya rencana hidup yang terskenario rapi. Bagus itu! Kerja yang tekun agar bisa menabung untuk beli rumah, dan modal warung, respon aku
Jawab dia lagi:
Selama ini sebagian uang gaji saya kirim ke kampung dan alhamdulillah saya sudah punya tanah ‘sedikit’ di kampung.
Kalau demikian, tinggal nabung untuk ngumpulin bahan bangunannya…kata saya lagi.
Tapi jawaban dia menggebrak perhatian aku:
Alhamdulillah, saya selama ini juga sudah nabung kayu, pasir, besi dan bahkan batu bata. Saya hanya belum punya semen.
Kalau untuk pembangunannya, saya dan saudara kandung serta ipar sudah sepakat untuk gotong royong tenaga bergiliran membangun rumah. Kebetulan kami semua pernah bekerja sebagai tenaga di proyek.
Orang buta pun dapat melihat sinar bangga dari matanya, ketika dia mengatakan hal ini.
Waw!
Aku jadi mikir, berapa banyak orang seusia dia yang saat ini punya motor, isteri yang dipacarinya sejak smp, sebidang tanah, batu, pasir, kayu, batu bata……
Kemarin di Cikeas, eh maksud saya di Cikarang; interview beberapa orang lagi untuk posisi yang sama. Salah satunya bernama Joko. (*sumpah! namanya asli Joko); Orang Mlati-Sleman. Usianya lebih muda lagi. Lulusan D1 teknik mesin di Yogya. Belum menikah dan belum punya ‘batu bata and the gang”. Tapi aku menangkap semangat dan determinasi yang sama.
Seneng banget liat orang-orang muda yang tahu pasti apa yang harus dituju dalam hidupnya, konsisten dan fokus mencapainya.
Punya gambaran yang realistik tentang kehidupan yang dibangunnya, bukan sekedar: ‘jadi orang, hidup mapan, berguna bagi bangsa dan negara...'
Yang tidak mobat-mabit terbawa arus emosional.
Yang tidak ditekuk nasib, tapi MEMILIH membentuk hidup yang jauh lebih baik daripada orang kebanyakan.
Apakah mungkin karena mereka berpendidikan rendah sehingga justru cara pikirnya pun praktis?
Beberapa hari yang lalu status pesbuk si “R” teman saya ini, tertulis sebuah quote dari Rick Warren. Semoga itu karena dia sudah baca bukunya “Purpose Driven Life”, bukan karena nemu di status orang lain. Hehe. ….
Ehm, tapi aku jadi mikir: ibarat reality show nge-dance, pada akhirnya kehidupan juga menilai dari bagaimana saya menari; apakah saya menari diiringi sebuah lagu, atau sebaliknya saya menari untuk menjadi ilustrasi sebuah lagu.
So, you think you can dance?