Pages

Sunday, November 15, 2009

Bu Prapto

Di dekat toko ada seorang penjual nasi liwet, namanya Bu Prapto.
Aku lumayan sering beli. Selain aku suka nasi liwetnya si ibu juga lumayan ‘gaul’; bisa diajak ngomong ringan soal wacana-wacana sosio-politik dan hal-hal aktual lainnya. Kalau sudah ngomongin pemerintah, gayanya bisa ngalahin pengacara batak yang jadi artis itu. haha


Ibu Prapto ini pasti sudah 70-an, hampir setiap hari jualan nasi liwet di emperan toko bersama suaminya yang lebih tua lagi. Jadi, mustinya mereka lebih patut dipangggil "simbah".

Setiap jam 4 sore, sang suami datang lebih dahulu untuk menyiapkan meja, tikar, mengatur gelas+piring, memasang layar, dan menyiapkan panci berisi perlengkapan nasi liwet.
Pak Prapto ini sudah tua, giginya ompong semua. Sepintas seperti orang gagu.
Selama menemani istrinya berjualan, tugasnya hanya membuat minum dengan tertatih-tatih. Kadang diomelin istrinya kalau salah bikin pesanan. Tapi si suami dieeeem…saja.
Setiap kali aku ajak bicara cuma mangut-mangut, paling berkata, “nggih mas”.

Kira-kira 4 bulan yang lalu, tiba-tiba bu Prapto ga pernah jualan lagi. Bolak-balik aku ke tempat dia berjualan tapi selalu kecele. Hingga 1 minggu sebelum puasa kemarin, iseng aku lewat tempat bu Prapto yang ternyata malam itu jualan. Sendirian.

Aku langsung duduk di hadapannya dan protes. Percakapan kami selanjutnya tetap dalam bahasa jawa halus, kira2 begini : Waduh bu, njenengan niku wonten menopo kok sampun dangu mboten mande (ibu, ada apa gerangan kok lama ga jualan)

Sambil meracik nasi untuk saya, Ibu Prapto bercerita, Iya mas! Saya baru mulai jualan hari ini. 1 bulan yang lalu bapak meninggal. Saya sangat terpukul dan sebenarnya belum merasa sanggup jualan lagi. Tapi saya memaksakan diri agar tidak semakin larut dalam kesedihan.

Ibu Prapto kemudian menceritakan peristiwa meninggalnya suaminya. Sambil beberapa kali mengusap matanya yang memerah. Kalau pas banyak pembeli, saya bisa mengalihkan perhatian, tapi kalau pas tidak ada pembeli, dada saya terasa sakit sekali ingat bapak. Lanjutnya lagi.
Waktu aku datang memang si ibu sendirian tidak ada pembeli atau orang lain. Sepi.

Aku diam saja menyuap nasi. Aku ga pernah suka dan selalu berusaha menghindar situasi kayak gini.

Si ibu sesekali mengusap mata dengan sapu tangan. Untung ga ada pembeli lain. Bisa-bisa dikirain aku makan nasi liwet telur dan paha ayam trus ga mau bayar. Huhuhu…

Seketika selesai suapan terakhir, aku langsung berlari kembali ke toko, mengambil radio yang paling bagus, melengkapi dengan batu baterai baru, dan kembali ke tempat Bu Prapto.

Aku menunggu bu Prapto selesai melayani beberapa pembeli. Setelah itu aku berkata, (pake bahasa jawa lagi) Ibu, Ini cuma radio biasa, tentu saja ga bisa menggantikan bapak, tapi semoga bisa jadi hiburan kalau ibu sedang merasa sedih.

Aku nyalakan radio itu dan menunjukkan cara pengoperasiannya.

Sontak ibunya malah menangis tersedu-sedu.
Mas, anda ga tahu bagaimana sedih dan sakitnya hati ketika kita kehilangan pasangan hidup. Meskipun suami saya sudah tua dan tidak bisa memberi saya apa-apa, tapi saya sangat mengasihinya. Bagi saya cukup punya dia yang bisa menjadi tempat saya berbagi keluh, teman berbicara ketika anak dan cucu sibuk sendiri2, setiap malam membicarakan hari yang baru saja kami lalui……...

Sekarang saya sendiri. Menjalani hidup sendiri.
Terima kasih mas. Pasti mas ga tahu rasa syukur saya diberi radio ini. Sebelum bapak meninggal, sebenarnya kami sudah punya rencana beli radio untuk mendengar siaran wayang malam hari. Jadi, terima kasih ya mas.


Si ibu berusaha menahan tangis, tapi air mata dan sedannya tidak tersembunyikan.

Saya hanya tersenyum dan ngomong beberapa kalimat penguatan.
Berusaha mengajaknya bercanda; Ya sudah, kalau gitu radio ini jangan diberikan orang lain ya, jangan dijual, pokok-nya ini hanya untuk hiburan ibu pas jualan atau di rumah.

Sambil masih menangis, si ibu berkata! Tidak akan mas! Saya sungguh menghargai pemberian mas! Radio ini akan menjadi barang kesayangan saya. Terima kasih sudah memberikan simpati dan berusaha meringankan kesedihan saya.

Sekali lagi, aku ga suka situasi kayak gini, mangkanya setelah meletakkan uang nasi liwet, aku pamit pulang.

Ah, Aku memang ga tahu apakah radio itu bisa menghiburnya, tapi aku tahu rasa sedih dan nyeri ketika kehilangan bojo, belahan jiwa, seseorang yang kita kasihi.

It was so sad and painfull, and trust me: it is now still sad and painfull.

3 comments:

Anonymous said...

ehem...

Anonymous said...

hua..udah lama gak baca hal-hal seperti ini. jadi sedih..

imgar

andro_danish said...

terharu..