Ketika aku masih bekerja sebagai arsitek, aku menjadi rekanan sebuah resto fast food yang berpusat di amerika. Di Indonesia, jumlah out-let restonya termasuk yg paling banyak.
Sebenarnya company ini punya in-house architect sendiri. Biasa aku panggil bu Ita.
Tugas bu Ita hanya menangani konsep umum image resto fast-food tsb, sedangkan practical design tetap dilakukan oleh arsitek lain. Selain aku, ada 2 arsitek lain yg dijadiin langganan.
Selain berhubungan dengan bu Ita, kami (aku dan 2 arsitek lain) juga harus berhubungan dengan divisi kitchen dan divisi operational.
Berbeda dgn bu Ita yg berpikir design resto harus fancy dan super kreatif, dua divisi ini lebih mengutamakan aspek maintenance, function dan durability. Hal-hal yang sangat dinista oleh bu Ita.
(setelah baca blog Shy, aku tiba2 jadi suka ngomong ‘nista’…)
Bukan karena mau menjilat dua divisi itu utk merebut jatah proyek, dasarnya emang desain aku berkarakter simple, clean dan functional, sehingga sering kali kesannya (aku dan 2 arsitek lain) lebih mengakomodasi keinginan mereka.
Pernah suatu kali, waktu habis presentasi, kami bertemu bu Ita di lift-lobby. Rupanya dia masih gregetan dengan desain-desain kami, sampai dia bilang, “kok mau-maunya jadi pelacur..”
Bukan sekali itu dia ngomong kayak gitu.
OK, lepas dari soal desain arsitektural, aku memang selalu berpikir; pelacur itu bukan hanya seseorang yg buka baju, terlentang, do his/her job, trus terima duit.
Pelacur adalah orang yg dalam berpikir atau melakukan sesuatu menafikan norma, iman, serta nuraninya demi memperoleh (imbalan) sesuatu.
Artinya bisa saja seorang arsitek pantas disebut pelacur karena menafikan kaidah-kaidah arsitektur demi mengejar proyek daan mendapatkan design-fee.
Sebaliknya seorang perempuan yg menjual tubuhnya tanpa merasa bersalah, bisa disetarakan dengan seorang artis yang menghibur penonton, atau bahkan seorang dokter yang menyembuhkan pasiennya.
Sebut saja Pak Jun, aku kenal dia waktu kerja sebagai sales pabrik elektronik merk kelas dunia. Dia selalu memuji brand yang dia bawa, serta membandingkan dengan sebuah merk dari china. (sebut saja merk ticin)
Ironisnya, 2 tahun kemudian dia pindah dari pabrik “kelas dunia” tersebut dan masuk ke pabrik merk china; Ticin.
Giliran sekarang dia muji2 setinggi langit merk Ticin dan bilang kalau merk yg dulu biasa2 aja…
Yang kayak gini gimana coba….
Anyway,
Aku pernah nonton sebuah film, judulnya sudah lupa, tapi pemainnya Sigourney Weafer. Film ini tentang seorang lawyer yang sdh established, kaya dan terpandang. Tapi kalau malam hari menjajakan tubuhnya hanya sebagai keisengan, tanpa harus bergumul dengan batinnya.
Jadiiii….. seandainya aku terinspirasi film diatas, dan tidak merasa bersalah (dan nista!!) untuk mengiyakan ajakan ml setiap kali chatting (bila perlu minta duit)…berarti aku bukan pelacur khan ?
Tapi, ehmm….. masalahnya : kira-kira ada yang mau sama aku gak ya ?
HUH! Nista banget!!!