Sekarang ini kalau hidup dibuat lagu pasti iramanya march : menghentak dan cepat.
Setiap bangun pagi, sudah terbayang sederet pekerjaan yang harus diselesaikan, PR yg belum digarap, dan barometer dead-line yang selalu di titik ‘kritis’
Sejak 2 minggu yang lalu janjian sama mas Slamet mau ke Yogya dan Klaten saja selalu tertunda. Sampai kemarin siang diantar pak Sukadi memaksakan diri ke Klaten.
Setelah muter2 meninjau beberapa lokasi, aku minta Pak Sukadi berhenti di dekat alun2 Klaten. Ada sebuah warung sederhana menjual teh manis dan makan kecil yang ditunggui seorang ibu berdaster batik hijau.
Terdengar adzan Ashar dari masjid Agung, masjid terbesar di Klaten yang berjarak +/- 300 meter dari warung kami berhenti. So aku bilang ke mas Slamet, “mas, sholat saja dulu. Aku dan pak Sukadi nunggu di sini”
Aku dan Pak Sukadi duduk di lincak (*bangku lebar dan panjang).
Suasananya sejuk, mungkin karena agak mendung.
Didepan warung, ada sebuah rumah kuno berdinding bata bercat putih dan kayu. Jendelanya bercat kuning muda, besar2 dan hampir menyentuh langit2 .
Jalanan lumayan ramai dengan motor dan sepeda. Di ujung jalan sebelah timur ada pasar induk. Jarang mobil lewat. Motor dan sepeda berjalan dengan santai
Serombongan kuli panggul lewat, bersenda gurau saling mengejek. Membuat aku tersenyum membayangkan serombongan kuli perkebuan tebu yang beriringan pulang jaman dulu.
Pak Sukadi ngobrol sama ibu berdaster hijua dengan bahasa Jawa krama.
Sesekali si ibu mengeluarkan es batu dari termos es tua yang kusam karena usia, memukulnya dengan pisau dan membuat es teh pesanan para kuli panggul. Saya jadi ingat ibu saya yang tekun menjalani hari-hari kehidupannya.
Dari arah masjid terdengar pembacaan ayat suci. Seorang bapak besepeda lewat memboncengkan anaknya yang ingusnya berleleran.
Serombongan lagi kuli panggul lewat beriringan pulang sambil tersenyum2 memamerkan upah yang mereka peroleh hari ini.
Rasanya damai sekali. Aku jatuh cinta sama kota ini. Hehehe…
Akhirnya mas Slamet selesai sholat, dari jauh berjalan sambil senyum2. hih! Genit!
Setiap bangun pagi, sudah terbayang sederet pekerjaan yang harus diselesaikan, PR yg belum digarap, dan barometer dead-line yang selalu di titik ‘kritis’
Sejak 2 minggu yang lalu janjian sama mas Slamet mau ke Yogya dan Klaten saja selalu tertunda. Sampai kemarin siang diantar pak Sukadi memaksakan diri ke Klaten.
Setelah muter2 meninjau beberapa lokasi, aku minta Pak Sukadi berhenti di dekat alun2 Klaten. Ada sebuah warung sederhana menjual teh manis dan makan kecil yang ditunggui seorang ibu berdaster batik hijau.
Terdengar adzan Ashar dari masjid Agung, masjid terbesar di Klaten yang berjarak +/- 300 meter dari warung kami berhenti. So aku bilang ke mas Slamet, “mas, sholat saja dulu. Aku dan pak Sukadi nunggu di sini”
Aku dan Pak Sukadi duduk di lincak (*bangku lebar dan panjang).
Suasananya sejuk, mungkin karena agak mendung.
Didepan warung, ada sebuah rumah kuno berdinding bata bercat putih dan kayu. Jendelanya bercat kuning muda, besar2 dan hampir menyentuh langit2 .
Jalanan lumayan ramai dengan motor dan sepeda. Di ujung jalan sebelah timur ada pasar induk. Jarang mobil lewat. Motor dan sepeda berjalan dengan santai
Serombongan kuli panggul lewat, bersenda gurau saling mengejek. Membuat aku tersenyum membayangkan serombongan kuli perkebuan tebu yang beriringan pulang jaman dulu.
Pak Sukadi ngobrol sama ibu berdaster hijua dengan bahasa Jawa krama.
Sesekali si ibu mengeluarkan es batu dari termos es tua yang kusam karena usia, memukulnya dengan pisau dan membuat es teh pesanan para kuli panggul. Saya jadi ingat ibu saya yang tekun menjalani hari-hari kehidupannya.
Dari arah masjid terdengar pembacaan ayat suci. Seorang bapak besepeda lewat memboncengkan anaknya yang ingusnya berleleran.
Serombongan lagi kuli panggul lewat beriringan pulang sambil tersenyum2 memamerkan upah yang mereka peroleh hari ini.
Rasanya damai sekali. Aku jatuh cinta sama kota ini. Hehehe…
Akhirnya mas Slamet selesai sholat, dari jauh berjalan sambil senyum2. hih! Genit!
No comments:
Post a Comment