Catatan:
Entry kali ini nulisnya penuh perjuangan. Sudah dimulai pertengahan September tahun lalu, beberapa kali ditulis ulang dan diedit, konsep diubah, pernah dihapus total, ditulis lagi dengan plot berbeda....
Mikir berhari-hari sebelum memutuskan mem-publish tulisan ini.
Sampai saat ini pun aku masih bergumul dengan masalah pokok dan urusan ‘berserah’ ini.
Entry kali ini nulisnya penuh perjuangan. Sudah dimulai pertengahan September tahun lalu, beberapa kali ditulis ulang dan diedit, konsep diubah, pernah dihapus total, ditulis lagi dengan plot berbeda....
Mikir berhari-hari sebelum memutuskan mem-publish tulisan ini.
Sampai saat ini pun aku masih bergumul dengan masalah pokok dan urusan ‘berserah’ ini.
Menghadapi pergumulan hidup akhir-akhir ini, Tuhan mengingatkan aku untuk berserah pada Nya.
Mengagumkan sekali cara Tuhan menyampaikan hal ini.
Mulai dari status teman di FB, thema kotbah di gereja, hiasan dinding yang selama ini tertutup tumpukan nota, thema renungan harian, obrolan dengan adik dan beberapa teman, nguping pembicaraan orang lain, pengepul kardus bekas yang tiba2 ngasih ‘kotbah’, bahkan dari dialog masalah politik di tv, aku juga mendengar kata ini : berserah pada Tuhan ter high-lite mencolok indera.
Aku bisa kok bikin esai ratusan halaman tentang berserah pada Tuhan; bagaimana aku gak perlu ‘ngotot’ mempertahankan sesuatu yang menurut aku baik, tapi tetap kudu melakukan yang terbaik, tetap tekun, tetap semangat bla, bla, bla….
Tapi itu teori. Prakteknya?
Aku ga mudeng apa itu ‘berserah’ dan gak tahu bagaimana melakukannya. Karena ini urusan hati, urusan iman. Untuk seorang ‘control freak’ seperti aku, kadang Tuhan hanya berfungsi sebagai legislator.
Ada beberapa peristiwa di masa lalu yang sangat melukai hati dan meremukkan harapan, saat itu terjadi. Namun saat ini aku bisa melihat dan mensyukuri, ternyata kepahitan yang aku alami waktu itu adalah anugerah terbaik.
Tapi tetap saja aku terus bertanya di dalam otak dan hati: Berserah pada Tuhan itu seperti apa ya?.........
Bagaimana mengenali kehendak Tuhan atas pergumulan dan pilihan hidup?
Apakah itu seperti menyerahkan sebuah perhelatan ke Event Organizer?
Kita membayar Tuhan melalui amal ibadah, penyembahan, hidup kudus; untuk dapat menuntut Tuhan membereskan semua urusan, kegalauan, permasalahan hidup?
Ataukah seperti seorang pencopet yang mengangkat dua tangannya ketika diteriakin polisi: Menyerah!!!
Seorang teman: Lastri pernah bercerita tentang bagaimana seseorang menyertakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya.
Sebut saja namanya Joko
Setiap (misalnya) naik bis kota, Joko selalu berusaha ada satu bangku kosong disebelahnya. Bila perlu dia bersedia membayar untuk bangku yang ‘kosong’ itu.
Suatu kali kondektur hanya menarik karcis satu orang.
Ketika turun dari bis, dia berdoa, ‘Tuhan, kondekturnya baik hati ya! Kita naik berdua hanya disuruh bayar satu’
Suatu hari lagi, Joko pergi ke supermarket dekat rumah. Ketika tengah mengisi keranjang belanjaanya, tiba-tiba dia tersentak, meninggalkan keranjang belanja begitu saja lalu dengan penuh rasa bersalah berlari pulang secepat mungkin, segera membuka pintu rumah dan berseru, ‘Tuhan, maaf tadi saya lupa mengajakMu, mari ikut saya ke supermarket! Tuhan saja yang menentukan belanjaan saya…’
Huhuhu….….
Aku gak tahu apakah si Joko itu lebay menghayati iman-nya atau sebenarnya gila.
Berserah kepada Tuhan… seperti apa sih? Bagaimana sih?
Apakah dalam penyerahan diri kepada Tuhan, masih ada pilihan-pilihan yang bisa kita ambil? (*mlipir mode on)
Bagaimana meyakinkan diri bahwa yang kita lakukan saat ini adalah seturut kehendak Tuhan?
Aku menyaksikan banyak orang melakukan sesuatu yang dipikirnya benar dan baik. Namun ketika terjadi kekacauan, enteng saja lempar tanggung jawab: ini kehendak Tuhan.
Apa ya bedanya berserah dan menyerah ?
Pada titik ini rasanya aku sudah mulai putus asa.
Putus asa dengan pergumulan permasalahan, juga putus asa dengan urusan ‘berserah’ ini.
Aku merasa luar biasa bebal, bodoh dan kepala batu.
Juga sendirian.
Secara iman aku tahu persis Tuhan akan menyelesaikan setiap pergumulanku, jika bisa berserah pada Nya.
Tapi aku masih belum tahu bagaimana caranya berserah. Rasanya seperti disuruh berjalan di atas air.
Rasanya seperti nabi Yunus yang ditelan ikan besar karena mengikuti kata hatinya sendiri.
So Lord, please help me…….
Mengagumkan sekali cara Tuhan menyampaikan hal ini.
Mulai dari status teman di FB, thema kotbah di gereja, hiasan dinding yang selama ini tertutup tumpukan nota, thema renungan harian, obrolan dengan adik dan beberapa teman, nguping pembicaraan orang lain, pengepul kardus bekas yang tiba2 ngasih ‘kotbah’, bahkan dari dialog masalah politik di tv, aku juga mendengar kata ini : berserah pada Tuhan ter high-lite mencolok indera.
Aku bisa kok bikin esai ratusan halaman tentang berserah pada Tuhan; bagaimana aku gak perlu ‘ngotot’ mempertahankan sesuatu yang menurut aku baik, tapi tetap kudu melakukan yang terbaik, tetap tekun, tetap semangat bla, bla, bla….
Tapi itu teori. Prakteknya?
Aku ga mudeng apa itu ‘berserah’ dan gak tahu bagaimana melakukannya. Karena ini urusan hati, urusan iman. Untuk seorang ‘control freak’ seperti aku, kadang Tuhan hanya berfungsi sebagai legislator.
Ada beberapa peristiwa di masa lalu yang sangat melukai hati dan meremukkan harapan, saat itu terjadi. Namun saat ini aku bisa melihat dan mensyukuri, ternyata kepahitan yang aku alami waktu itu adalah anugerah terbaik.
Tapi tetap saja aku terus bertanya di dalam otak dan hati: Berserah pada Tuhan itu seperti apa ya?.........
Bagaimana mengenali kehendak Tuhan atas pergumulan dan pilihan hidup?
Apakah itu seperti menyerahkan sebuah perhelatan ke Event Organizer?
Kita membayar Tuhan melalui amal ibadah, penyembahan, hidup kudus; untuk dapat menuntut Tuhan membereskan semua urusan, kegalauan, permasalahan hidup?
Ataukah seperti seorang pencopet yang mengangkat dua tangannya ketika diteriakin polisi: Menyerah!!!
Seorang teman: Lastri pernah bercerita tentang bagaimana seseorang menyertakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya.
Sebut saja namanya Joko
Setiap (misalnya) naik bis kota, Joko selalu berusaha ada satu bangku kosong disebelahnya. Bila perlu dia bersedia membayar untuk bangku yang ‘kosong’ itu.
Suatu kali kondektur hanya menarik karcis satu orang.
Ketika turun dari bis, dia berdoa, ‘Tuhan, kondekturnya baik hati ya! Kita naik berdua hanya disuruh bayar satu’
Suatu hari lagi, Joko pergi ke supermarket dekat rumah. Ketika tengah mengisi keranjang belanjaanya, tiba-tiba dia tersentak, meninggalkan keranjang belanja begitu saja lalu dengan penuh rasa bersalah berlari pulang secepat mungkin, segera membuka pintu rumah dan berseru, ‘Tuhan, maaf tadi saya lupa mengajakMu, mari ikut saya ke supermarket! Tuhan saja yang menentukan belanjaan saya…’
Huhuhu….….
Aku gak tahu apakah si Joko itu lebay menghayati iman-nya atau sebenarnya gila.
Berserah kepada Tuhan… seperti apa sih? Bagaimana sih?
Apakah dalam penyerahan diri kepada Tuhan, masih ada pilihan-pilihan yang bisa kita ambil? (*mlipir mode on)
Bagaimana meyakinkan diri bahwa yang kita lakukan saat ini adalah seturut kehendak Tuhan?
Aku menyaksikan banyak orang melakukan sesuatu yang dipikirnya benar dan baik. Namun ketika terjadi kekacauan, enteng saja lempar tanggung jawab: ini kehendak Tuhan.
Apa ya bedanya berserah dan menyerah ?
Pada titik ini rasanya aku sudah mulai putus asa.
Putus asa dengan pergumulan permasalahan, juga putus asa dengan urusan ‘berserah’ ini.
Aku merasa luar biasa bebal, bodoh dan kepala batu.
Juga sendirian.
Secara iman aku tahu persis Tuhan akan menyelesaikan setiap pergumulanku, jika bisa berserah pada Nya.
Tapi aku masih belum tahu bagaimana caranya berserah. Rasanya seperti disuruh berjalan di atas air.
Rasanya seperti nabi Yunus yang ditelan ikan besar karena mengikuti kata hatinya sendiri.
So Lord, please help me…….
Ku berserah kepada Allahku
Di darat pun di laut menderu
Tiap detik, tak berhenti
Bapa Surgawi t’rus menjagaku
Ku tahu benar,
Ku dipegang erat
Di gunung tinggi dan samudera
Di taufan g’lap, ku di dekap
Bapa Surgawi t’rus menjagaku
Tiap detik, tak berhenti
Bapa Surgawi t’rus menjagaku
Ku tahu benar,
Ku dipegang erat
Di gunung tinggi dan samudera
Di taufan g’lap, ku di dekap
Bapa Surgawi t’rus menjagaku
gambar diambil dari sini