Pages

Friday, February 18, 2005

Festivals on February - part 2

Di kebanyakan kalender, pada tanggal 10 Februari hanya tertera Tahun Baru Islam 1 Muharram 1426 Hijriah. Tidak banyak yang tahu, sebenarnya kita merayakan :

Tahun Baru Islam 1426 Hijriah & Tahun Baru Jawa 1Suro 1938

Entah bagaimana tahun baru Hijriah dan tahun baru Jawa selalu jatuh pada tanggal yang sama. Padahal ga mungkin banget sekian ribu tahun yang lalu ada konven antara penguasa Timur Tengah dan raja2 di jawa untuk menyepakati tanggal tahun baru bersama.
Yang jelas, di Solo dan sekitarnya, akulturasi Islam dalam budaya Jawa sangat besar. Dalam ritual Kejawen, dilantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Sebaliknya ada sebagian orang muslim yang juga melaksanakan ritual-ritual Kejawen; misalnya: bertapa, mandi kembang, menyediakan kembang setaman (7macam bunga) dan membakar kemenyan setiap malam Jumat, dll

Okelah, aku ora mudeng banget soal hal ini!, so let’s see just the “festival side” of these 2 new years

SEKATEN

Satu budaya Kejawen adalah, pada bulan pertama, yakni Syura/Suro, manusia hanya diijinkan melaksanakan aktifitas rutin: bekerja, sekolah, dll, sementara kegiatan khusus : membangun/memperbaiki rumah, menikah, sunatan, mendirikan usaha, dll adalah suatu pantangan.
Semua orang di Solo sudah paham; bisnis pada bulan Suro akan berjalan lambat, bakul-bakul (pedagang) batik di pasar Klewer akan mengeluh sepi, dll. Ini adalah masa paceklik bagi pengusaha penyewa peralatan pesta & katering, pekerja bangunan, serta event organizer.
Seorang anak kenalan yang hamil pra nikah, bahkan menunda pernikahannya bukan karena tidak mendapat ijin ortu, si cowok ga bertanggung jawab atau lainnya, tapi semata menunggu bulan Suro lewat.

Tapi kelesuan bulan Suro di tutup dengan festival “SEKATEN” yakni pasar malam tradisional yang diselengarakan di Alun-Alun Keraton Solo. Di sekaten ini, dijual aneka kerajinan tradisional (gerabah, dll) juga ditampilkan kesenian tradisonal.
Ritual Sekaten diawali dipindahkannya Gamelan pusaka Keraton, dari Keraton ke Masjid Agung yang terletak tidak jauh dari Keraton Solo.
Festival sekaten sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun. Konon ditabuhnya gamelan di masjid adalah salah satu upaya syiar Islam, yakni dengan menarik penduduk jaman dahulu kala datang Mesjid dan mengenal ajaran Islam.
Sekaten berlangsung kira-kira selama 10 hari. Cinderamata khas sekaten solo adalah cambuk (pecut) dan kinang sekaten, yakni sebungkus kecil perlengkapan mengunyah sirih, berupa tembakau, sirih, dll yang konon khasiatnya awet muda.
Waktu aku masih kecil, aku selalu diajak papa-mama mengunjungi sekaten, dan masih ingat selalu dibeliin gasing bambu, kapal-kapalan seng bertenaga minyak dan brondong (jangan ngawur! Ini brondong beras! Bukan brondong yang bisa makan beras hehehe)


PURA MANGKUNEGARAN

Istana pecahan Keraton Kasunanan Solo ini tidak terlalu besar, luasnya kira-kira 1 km2; terletak di tengah kota. Bayangin saja kayak kompleks Istana Negara di Jakarta gitu.
Ada festival menarik di Pura (Istana) Mangkunegaran pada malam tahun baru jawa ini, yakni Kirab Pusaka dan ritual penduduk mengelilingi Pura Mangkunegaran (PM)

Beberapa waktu sebelumnya, pusaka-pusaka sudah dikeluarkan dari tempat penyimpanan, dibersihkan dan didoa-doakan. Ada berbagai macam pusaka, tapi kebanyakan berupa senjata, misalnya tombak, keris, dll.

Selepas mahgrib, penduduk sekitar solo sudah berdatangan dan berkumpul di seputar Pura.
Kira-kira jam 7 malam, mereka serentak berjalan mengelilingi tembok Pura sebanyak 3 kali. Selama mereka berjalan itu, mereka hanya melantunkan doa; tidak diijinkan berbicara dan tidak boleh merespon godaan orang lain (dengerin discman? Ya jelas ga boleh!!). Biasanya ada saja orang yang usil menjahili orang yg sedang khusyuk menjalankan ritual ini.
Selesai itu, mereka tidak langsung pulang, tapi bercampur dengan orang-orang yang datang menonton, untuk menyaksikan kirab Pusaka.
Ada banyak penjual makanan dan minuman yang membuat suasana makin meriah.

Kira-kira pukul 8 malam, di dalam Pura, para bangsawan, keluarga, serta prajurit istana mulai berbaris dan mengusung pusaka-pusaka untuk dikirab mengelilingi Pura Mangkunegaran, dengan dipimpin oleh Raja PM dan benda Pusaka Utama PM.
Busana yang dikenakan adalah busana Jawa; para pria menggunakan beskap beludru hitam, berkain serta berblangkon, sementara para wanita mengenakan kain dan kebaya sesuai derajad kebangsawanannya. Iringan berjalan pelan dengan tanpa alas kaki. Bau melati dan kemenyan mengubah malam menjadi sangat mistis. Suasana sangat khidmat.
Suasana yang tadinya riuh tiba-tiba menjadi hening……

……….
tidak ada yang bersuara………….

Sampai akhirnya iringan masuk kembali ke dalam pendopo istana.
Penonton yang tadinya menunduk membisu pun bubar jalan.
Pulang ? tidak! Mereka menunggu menyaksikan Festival Keraton Kasunanan Surakarta.


KERATON KASUNANAN SURAKARTA.

Keraton Kasunana Surakarta (KKS) juga memilik ‘festival’ pada malam tahun baru jawa berupa kirab pusaka. Bedanya lebih kolosal dan megah di banding Kirab Pusaka Pura Mangkunegaran. Ini karena KKS juga lebih besar daripada PM.
Ada satu lagi kekhasan Kirab Pusaka KKS, yakni pusaka berupa beberapa ekor kerbau albino. Kerbau-kerbau ini dipercayai memiliki kesaktian khusus. Kerbau2 yang sering nyasar masuk pasar dan perkampungan dikenali dan tidak dihindari orang2 di solo. Penjual sayur dipasar misalnya, akan merasa mendapat berkah apabila kerbau2 itu memakan sayuran dagangan mereka.
Setiap menjelang bulan Suro, tanpa ada yang mengundang, kerbau2 yang dibiarkan lepas berkelana hingga puluhan km dari solo ini, selalu pulang kembali ke kandang yang ada di keraton. Mereka tahu harus mengikuti kirab pusaka. Percaya ga percaya!


Suasana kota solo pada hari itu sangat ramai, banyak sekali penduduk pedesaan sekitar solo yang berdatangan.
Aku gak ngerti, Kirab di mulai jam berapa; jarak keraton dengan rumah kami tidak sampai 1 km, tapi biasanya baru jam 2.30 pagi mulai ada polisi yang menertibkan lautan manusia.
Padahal sudah sejak jam sepuluh malam, jalan di depan rumah penuh dengan manusia yang berjalan-jalan ga jelas. Diawali dengan polisi berkuda yang membelah lautan manusia, sesudah itu diikuti dengan polisi pake moge (motor gede) mendesak lautan manusia ke pinggir jalan, untuk memberi jalan bagi iringan.

Kami sekeluarga beruntung, karena kirab melewati depan rumah kami yang berloteng, sehingga tidak harus berdesakan untuk menonton.
Dari loteng, aku melihat suasana yang tadinya riuh menjadi hening, dan diujung jalan tiba-tiba nampak kerbau2 albino yang berjalan pelan memimpin iringan kirab pusaka Keraton Surakarta.
Suasana sangat hening, msterius dan mistis…….
Irringan berjalan pelan dan panjang. Rasanya tidak ada habisnya.
Barisan abdi dalem keraton membawa lampu-lampu minyak, sementara bangsawan keraton membawa aneka pusaka keraton yang tentunya sakti mandraguna. Wew!

Dalam kegelapan dini hari yang hening, mistis sekaligus setengah ngantuk, suasana sangat fantastis…there’s magic in the air…..
Rasanya bernafas saja kudu hati-hati…..
Sekarang ini, kalau membayangkan suasanyanya, saking mistisnya, sampai2 aku gak kaget kalau Harry Potter juga muncul dengan sapu terbangnya…..

HAH!!! Harry Potter? Muncul di kirab pusaka Keraton Jawa? Oops!! kayaknya otak aku sdh mulai ga beres. Emang sudah jam 3.12 pagi! ngantuk sih.
Sudah ah! Daripada makin ga karuan, aku publish saja entry ini, trus tidur!!

(next : another festive : Valentine)

2 comments:

Anonymous said...

Saya lihat sekaten hanya di tv, tapi masih ingat dulu Ibu masih suka buat apem, bubur merah putih kalau 1 Suro.
doel

ben said...

Pengen nonton........