Sampai rumah langsung aku baca. Hingga tadi sore aku tidak bisa melepas buku ini. Aku ngakak dan nangis bombay membacanya.
Tidak banyak buku yang bisa mengaduk emosi aku. Buku ini bisa.
Bahkan sekaligus menantang aku mengingat dan menulis masa sekolah dulu untuk bertanya kepada diri sendiri : apakah aku sudah cukup mensyukuri kehidupan.
Waktu SMP aku bersekolah di Solo : SMP Widya Wacana II.
Menurut aku sekolah adalah kegiatan yang sangat ga penting. Berangkat ke sekolah hanya karena itu yang diwajibkan pemerintah dilakukan oleh anak seusia aku.
Setiap hari setelah berjuang bangun dari tidur (diteriakin mama : BANGUUUUN!!!!! Udah mau telaaaatttt!! Mama sudah ga mau bikin surat ijin lagiiii!! Malu!!), mandi+berpakaian, kelabakan menyiapkan buku dan tas (sadar belum mengerjakan pe-er) aku dan Ay adik aku bergegas naik beca ke sekolah, “pak cepet ya, wis meh telat!”
Berbeda dengan Lintang - anggota Laskar Pelangi yang kudu menghadapi buaya sebesar pohon kelapa demi bisa bersekolah, aku selalu berharap kucing tetangga beranak, Presiden Suharto meresmikan pabrik semen, ada ibu melahirkan kembar, atau kejadian ga penting lainnya hanya sebagai alasan untuk tidak masuk sekolah.
Dalam seminggu pasti ada saja 1 hingga 2 hari ga masuk. Sakit? Bukan! Ga bisa bangun. Hehe.
Sampai salah satu wali kelas aku bilang, “Bapak tidak bisa mengisi jumlah absen kamu di rapor. Bingung menghitungnya!” Aku pernah diajak menghitung jumlah hari bolos selama 1 tahun : 42 hari!
Kalau di suatu pagi aku berhasil menyeret diri ke sekolah, menurut aku itu sudah sangat cukup.
Sementara teman2 tekun mencatat pelajaran, aku lebih tertarik bikin surat cinta untuk Mike (cinta monyet, cewek paling ‘matang’ dikelas), memperindah meja dengan tip-ex, melipat-lipat buku, merajang karet penghapus dengan cutter, baca komik, ngobrol dengan siapapun yang sama geblegnya. Atau mengukir meja dengan pisau lipat sampai meja bocel2 ga karuan.
Karena tidak pernah mencatat, aku tidak punya bahan untuk menghadapi ulangan. Akibatnya semua ulangan dihadapi dengan metode sama : mengarang indah. Baik itu pelajaran bahasa Indonesia, IPS, IPA bahkan matematika. Jawabnya dengan mengarang. Hahaha.
Tentu pake logika. Aku tahulah bukan Mussolini yang memimpin partai Nazi di Jerman, jumlah sudut segitiga adalah 180 derajat, aku ga mungkin menjawab protozoa itu nama jendral yang memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan di Afrika Barat.
Ada satu hoby yang menyelamatkan aku dari azab kebodohan: membaca. Setiap hari aku menyimak koran langganan mama : Suara Merdeka. Aku juga berlangganan majalah Hai dan Intisari. Ada saja berita atau artikel pengetahuan umum yang menarik. Aku jadi tahu nama perdana menteri Inggris, letak pulau Binton penghasil aspal, lintang titik balik lintasan matahari……
Sayangnya tidak ada artikel yang bisa merangsang aku untuk menyukai pergi ke sekolah.
Kebalikan dengan Mahar - anggota Laskar Pelangi yang sangat estetik, prakarya adalah pelajaran yang paling aku benci. Bahkan sering gara2 mata pelajaran ini aku bolos sekolah. Aku ga pernah bisa mengerti mengapa teman2 mau saja disuruh menggergaji tripleks, memotong2 kertas, belepotan cat dll.
Guru biasanya tidak dikelas selama pelajaran prakarya. So instead of ngerjain tugas, aku lebih suka berkeliling2 kelas (merasa jadi pengawas) ngobrol2 ga jelas dan memberi komentar hasil karya teman2, ke toilet kencing, mengendap-endap ke kantin beli wafer coklat ‘superman’….
Selama 3 tahun di SMP, seingat aku tidak pernah sekalipun mengumpulkan tugas prakarya.
Aku hampir selalu mendapat rangking 1…dari belakang. Kebalikan dari Wulandari yang selalu mendapat rangking 1 dari depan. Anak ini kesayangan para guru : rajin, tulisannya bagus, ga bikin masalah, kelak melanjutkan di SMA dan Universitas ternama, mengharumkan nama sekolah dan guru2 SMPnya, bermasa depan cerah …
SMP Widya Wacana II bukan merupakan SMP favorit di Solo. Orang tua yang memiliki anak2 pintar dan rajin akan memilih SMP Negeri, SMP Pangudi Luhur atau setidaknya SMP Widya Wacana I.
Berdasarkan pengamatan aku, kebanyakan lulusan SMP WW II melanjutkan hidupnya dengan kawin muda, bantuin usaha ortu, cari kerja atau lainnya. Jarang aku mendengar guru kelas kami bercerita tentang alumni yang menjadi akademisi atau profesi2 keren : dokter, geologis, psikiater….
Di SMP WW II setiap tingkat terdiri dari 3 kelas; A, B, C . Konon kelas A untuk murid yang lebih pintar. Mungkin kelas C sudah terlalu penuh, aku dimasukkan kelas B. Hihihi….
Dikelas 1 aku sebangku dengan Bobby alias Robbert. Kami berteman karib meski kami seperti angka 10 : dia nduuuuut banget, aku kurus kayak ranting (tapi ganteng). Kami sering ngobrol, bobby banyak bercerita pengalaman liburan dia ke Jerman, lomba yudho dan anjing2 herdernya.
Bobby teman yang baik, kadang mau meminjamkan catatan, ngasih contekan pe-er dan pas ulangan. hehe
Dikelas 2 dan 3 aku pindah duduk sebangku dengan Kian Hien. Anak ini rajin dan pintar, selalu rangking 5 besar. Tapi Kian Hien pelit bukan main, ga pernah mau ngasih contekan. Ketika ulangan, dia selalu menutupi kertas ulangan dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan menulis (aku duduk disebelah kanannya) sambil matanya selalu melirik melototin aku yang putus asa memandang bolak-balik : Kian Hien dan kertas ulangan aku yang masih kosong dengan pasrah.
Setiap kali kenaikan kelas pasti ada rapat untuk menentukan kenaikan kelas murid2 bernilai minim. Yakin banget aku adalah salah satu murid yang dibahas tiap tahun dan membuat para guru berdebat sengit.
Kalau buku Laskar Pelangi bercerita tentang 10 sahabat yang berjuang melawan kepahitan hidup namun tetap bersemangat sekolah, sebaliknya aku adalah anggota Laskar Jelaga, manusia dengan masa depan semuram jelaga.
Selama 3 tahun di SMP: 6 semester = 6 kali terima rapor di SMP, hanya ada satu nilai 7 : pelajaran agama waktu kelas 1, selain itu semua nilai terdiri dari 6 dan 5.
Sebelum ujian akhir dan kelulusan, beberapa teman dengan antusias membicarakan rencana mereka dan SMA pilihan : SMA Negeri 3, SMA St. Yoseph dan SMA top lain di Solo dan luar kota, sementara aku menanggapi itu seperti mendengar berita kepindahan Rieke Dyah Pietaloka a.k.a Oneng dari Partai PKB ke partai PDIP. So what! Ga penting kalee!
Dalam hati heran juga ketika aku juga dinyatakan lulus dalam ujian akhir SMP.
Sebenarnya ga niat banget bisa melanjutkan sekolah. Tapi mama memaksa. So aku ikut tes masuk SMAN 3, SMA Negeri paling favorit di Solo dan sekitarnya. Peminatnya bukan main. Untuk mendapatkan nomor tes saja, mama kudu membayar tukang beca langganan untuk antri sejak jam 3 pagi.
Dengan pede+nekad+ga sadar diri, aku ikut tes penerimaan murid baru. Sayangnya panitya penerimaan tidak menghargai jawaban ala ‘mengarang indah’ aku hehehe… aku ga diterima.
Selain SMA Negeri 3, aku hanya mendaftar di SMA St. Yosef: another SMA swasta yang sama favoritnya, sama terkenalnya, sama banyak peminatnya, dan aku sama ga diterimanya…..
Karena hanya daftar di 2 sekolah itu, tinggal satu kesempatan melanjutkan SMA: di SMA Widya Wacana. Dan aku emoh banget! Alasannya : disitu muridnya China semua. Ga asyik! Ga keren! Aku ga mau terjebak kehidupan typikal keluarga China (padahal belum tentu juga dengan rapor kayak gitu aku diterima)
Tapi demi menuruti keinginan ortu, aku tetep daftar untuk ikut tes masuk.
Ada satu lagi alasan aku mau melanjutkan ke SMA: aku ga mau bantuin ortu jaga toko. Aku ga bisa membayangkan masa depan aku mengelola toko ortu. Emoh!!
Aku sebenarnya pengen jadi dokter, arsitek, petani atau peternak (hihihi…kok bisa ya…) tapi ga kebayang bisa jadi dokter dengan prestasi kayak gini dan semangat sekolah yang nyaris ga ada. Semasa kelas 2 SMP aku pernah mencoba beternak. Aku membeli 10 ekor DOC (day old chicken) di sebuah poultry shop, beli makanan ayam, beli buku “Cara Beternak Ayam Petelur”, bikin kandangnya sendiri dari kotak kayu bekas packing dagangan toko.
Ayamnya berhasil hidup hingga gede tapi aku keburu bosan sebelum ayam2 ini bertelur, akhirnya ayam2 dan kandang aku berikan ke tetangga.
Pada hari tes masuk SMA WW, instead of hadir aku malah ke Yogya untuk daftar di SMA De Britto.
Dalam buku Laskar Pelangi disebutkan penyakit gila itu ada 44 macam. Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya. Waktu itu aku pasti sedang gila skala 3; karena De Britto adalah SMA center of exellence di Yogya, even teman2 sekelas yg jauh lebih pinter saja ga berani bermimpi masuk sekolah ini. SMA De Britto terkenal muridnya pinter2 dan ga kebayang itu berasal dari calon murid kayak aku.
Persis Suciati ikut audisi Indonesian Idol. Bulan levelnya!!
Aku pun dengan pede tidak tahu malu ikut test tertulis.
Diterima ? jelas enggak!!
Hilang sudah kesempatan masuk SMA. Di Solo jadwal penerimaan siswa SMA sudah lewat.
Sedih?...... Gak sih, tapi kalau terbayang seumur hidup kudu jaga toko….wadawwww!!
Pada waktu melihat pengumuman di De Britto itu, aku dan mama mendapat informasi bahwa gedung SMA de Britto pada sore hari dipakai oleh SMA St. Thomas.
Sore itu juga aku daftar tes masuk SMA St. Thomas. Daripada pulang Solo jaga toko?....... Mending aku milih ini saja deh!
Test masuk 2 hari kemudian.
Kali ini aku belajar untuk menghadapi test ini, dan berjanji pada Tuhan seandainya aku diterima, aku akan menjadi pelajar yang baik dan rajin.
Seingat aku yang ikut test ga banyak, paling 200 an orang. Jelas ini bukan SMA favorit.
Karena kuatir tidak diterima lagi, usai tes mama dan papa menemui kepala sekolah St. Thomas untuk meminta kesempatan, “Pak, mohon anak kami diberi kesempatan belajar di SMA ini. Apabila di semester I nilai anak kami tidak memenuhi standar, kami akan memindahkan anak saya kembali ke Solo”
Kepala Sekolah tidak menjanjikan apa-apa. Beliau hanya berpesan supaya seandainya tidak diterima aku tetap mencoba masuk SMA tahun depan di Solo.......
Tahun depan?
Waw!!
Asyik! Bisa bangun siang tiap hari…
Tapi setahun mau ngapain ? …..jaga toko ?
wadaaaaawwww!!!
2 hari setelah test, ada pengumuman : aku diterima!!!.
Aku seneng banget bisa sekolah di Yogya, sementara mama kuatir setengah mati, melihat track record aku di Solo, mama kuatir sebulan aku cuma sekolah 2 hari.
Aku juga mulai tidak yakin dapat memenuhi janji aku kepada Tuhan untuk menjadi pelajar yang baik? aahh…liat2 saja nanti….jangan2 malah makin ancur seperti waktu di SD….
To be continued...
3 comments:
haiya..ternyata !
tapi seru juga ya.
dan bener juga..
buku laskar pelangi benar2 menginspirasi pembacanya untuk membuat novel saingannya :D
-imgaryangblogdiwordpressnyasementaradibekukan-
hi pras
di smp widya wacana II tahun berapa ?
beli DOC di poultry mana?alamatnya donkz..
Post a Comment