Pages

Friday, January 25, 2008

Laskar Jelaga (entry 2)

previous entry :
klik sini : Laskar Jelaga (part 1)

Kekacauan masa sekolah di SMP sudah berakar sejak SD.

Sebelum SD, aku hanya 1 bulan duduk di taman kanak2. Karena pintar? bukan. Karena benci sekolah.
Aku ga ngerti kenapa setiap pagi kudu ke sekolah. Dan kenapa sekolah diadakan pagi hari.

Setelah 1 bulan, aku protes keras setiap kali diantar sekolah.
Waktu itu ortu mungkin berpikir, ‘Lah! langsug saja nanti masuk SD’

Ketika yayasan gereja kami mendirikan sekolah, aku didaftarkan masuk kelas 1 SD dan Ay – adik aku masuk TK.
SD Kalam Kudus yang baru didirikan hanya memiliki TK Kecil, TK Besar, kelas satu s/d kelas tiga. Masing2 satu kelas. Jumlah muridnya 20-an anak perkelas.

Waktu masih kelas satu, aku sering bangun tidur di atas beca dalam perjalanan ke sekolah. Itu artinya ritual cuci muka, memakai baju seragam, memakai sepatu, hingga naik ke beca dilakukan oleh pengasuh, sementara aku masih tidur. Pemalas banget !
Aku sering dimarahin sama mbak yang mengantar aku sekolah, karena tidak jarang ketika bangun di tengah jalan, sambil ngusek2 mata aku bilang, “mbak, aku baru ingat belum bikin pe-er, hari ini kudu bawa bahan prakarya ini, kudu bawa itu…” si mbak jadi kalang kabut.
Mungkin kalau itu terjadi kini, mungkin aku sudah dimutilasi. Hehe…

Sebenarnya mama sudah berusaha menyisihkan waktu untuk setiap malam supaya aku mengerjakan pe-er. Tapi sepanjang hari papa mama sudah dilelahkan dengan kesibukan mereka mengelola toko. Typikal keluarga china pedagang. Sehingga kadang urusan sekolah anak2 kurang menjadi prioritas. Bagi keluarga china menjadi pedagang tidak harus sekolah tinggi2, cukup mengenal angka dan bisa jaga toko.

Ada habit menjijikan sejak kecil. Aku suka menahan buang air besar sampai kadang jebol di celana. Ga tahu kenapa demikian, tapi sejak balita konon selalu menangis keras ketika buang air besar. Di SD beberapa kali guru harus mengantar aku ke toilet karena keburu jebol di celana dan tentu saja baunya kemana-mana…(*hoek..hoek!)
Ketika rada besar (kelas 3 ke atas) aku mulai menyadari kenapa demikian. Aku ga pernah bisa nyaman buang air di kloset selain yang di rumah. Jijik.
Di kelas 1 SMP aku pernah jebol di celana sekali. Dari pagi sebenarnya sudah pengen kebelakang tapi aku tahaaaaan terus. Ketika sudah ga tahan aku minta ijin guru untuk ke toilet. Terlambat!! Belum sampai di toilet sudah jebol di celana. Aku langsung lari pulang. Para guru yang duduk di depan kantor guru pasti heran melihat aku lari sipat kuping sambil memegangi celana bagian belakang.
Itu bukan yang terakhir. Di SMA pernah sekali juga. Waktu sedang praktikum kimia di SMA 3 Yogya. Langsung pulang. Sepeda aku tuntun.
Sekarang sudah ga. Setidaknya aku sadar…kalau nekad nahan karena jijik…lebih malu kalau jebol di celana.

Ketika pertengahan kelas 2 SD, papa mama bertengkar hebat dan papa pergi.
Tinggal mama sendiri dari pagi hingga malam mengurus toko dan kami 4 bersaudara. Yang bungsu belum genap 1 bulan usianya.
Aku bisa memahami kalau urusan sekolah aku dan Ay hanya menjadi urusan domestik para pengasuh.
Bisa dibayangkan kalau kegiatan sekolah kami berjalan amburadul. Kami selalu duduk di rangking2 terakhir. Bukan berarti mama sama sekali tidak memberi perhatian, kami berdua sudah dicariin guru les, dll. Tapi mama sudah terlalu lelah untuk memperhatikan sekolah aku dan Ay. Bagi mama dan papa yang penting kami naik kelas. Itu cukup.
Aku ingat sekali setiap senin, rabu dan jumat pukul 2 siang aku harus pergi les pelajaran sekolah. Berat sekali. Rasanya malaaaaas sekali.
Tapi aku juga ingat, aku lebih bersemangat pada hari selasa dan kamis. Aku les bahasa Inggris di Oxford English Course, disana teman2 kursus jauh lebih tua. Kebanyakan mahasiswa. Rasanya lebih exciting. Padahal aku kudu jalan kaki, naik angkot, jalan kaki lagi…..

Sejak kelas 1 SD, aku punya beberapa teman dekat : Sonny, Djie Hong, Agus, dan Kwan. Diantara mereka, Kwan yang paling dekat. Nama lengkapnya Tee Kwan Yung. Sama dogolnya: kalau dikelas kami berdua sering di lempar kapur karena ngobrol. Cuma Kwan yang tahu aku beberapa kali kirim surat cinta kepada Lili cewek yang bikin aku dewasa sebelum waktunya. Hehe… Lili ini putih, cantik (*jelas!) setiap pagi diantar pake mobil, rambut sepinggang pake bando warna pink….haaagh! kalo cuma Nia Ramadhani belum apa2nya.
Setelah beberapa kali mengirim surat, aku menulis, “Lily aku mengagumimu, maukah kau menjadi pacar ku?”
Kwan Yung ngakak dan berkata, “Pras surat kamu dibaca semua mbak2 dikantin…”
Waktu itu aku kelas 2 SD. Masih cukup kebal malu, tapi rasa cintaku lenyap: dasar cewek yang ga bisa dipercaya!!!
Sampai kelas 3 aku selalu duduk dengan Kwan yang sudah tidak punya ibu. Kwan hanya punya ayah dan 1 adik yang juga laki2.
Aku dan Kwan sering ngluyur sepulang sekolah. Dengan masih membawa tas dan botol minum, kami nyasar2 kemana-mana.
Suatu hari kami berdua tanpa sadar tersesat. Untung seorang tukang beca yang biasa mangkal di depan sekolah menemukan kami. Bapak ini heran melihat kami jam 3 sore masih mebawa perlengkapan sekolah berjalan2 di tempat yang jauh dari sekolah.
Aku masih ingat bau Kwan sampai sekarang. Seperti susu.

Pada suatu hari, Kwan tidak masuk.
Kira2 jam 10, ibu Merry masuk dan berdiri di depan kelas. Dengan mata merah dan terbata-bata, bu Merry berkata, ‘anak-anak, teman kalian Kwan Yung kemarin sore mengalami kecelakaan di Ungaran. Kwan Yung sudah tiada dan akan dimakamkan nanti jam 3 sore. Bagi yang mau ikut bisa berkumpul disekolah’
Tangisku sudah pecah bahkan sebelum bu Merry selesai berkata. Aku sudah tidak mendengar apa yang dikatakannya kemudian.

Rasanya sedih sekali.
Pahit sekali.

Kwan, ayah serta adiknya pergi ke Semarang. Demi menghindari truk di daerah Ungaran, mobilnya selip dan terguling. Pintu belakang terbuka, dan Kwan yang duduk dibelakang terlempar keluar dan terbanting di aspal.
Aku tentu saja ikut mengantarkan Kwan hingga ke pemakaman, melihat petinya diturunkan ke dalam tanah. Sepanjang siang itu aku tidak lelah menangis.
Sampai di rumah aku menangis di pangkuan mama hingga tertidur. Bahkan saat ini rasanya masih pengen nangis kalau ingat saat itu.
.......

Dulu kala ketika tahun 70-an, tahun ajaran sekolah dimulai sekitar awal Januari hingga akhir Desember. Jadi kenaikan kelas selalu terjadi akhir Desember. Padahal di luar negeri tahun ajaran selalu berawal dan berakhir di pertengahan tahun. So Indonesia menyesuaikan diri. Itu terjadi pas aku kelas 5 SD. Semua kelas ditambah ½ tahun. Waktu itu papa sudah balik ke Solo lagi.
Apa yang terjadi sejak kelas 1 menjadi bom waktu yang meledak di kelas 5. Ketika kenaikan kelas : aku dan Ay (*adik aku) TIDAK NAIK KELAS!

Mama dan Papa marah dan gusar sekali. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku dan Ay hanya menangis.
Mama berkata, ‘ya sudah, ini menjadi pelajaran bagi kita semua’. Tapi papa tidak bisa menerima, apalagi menurut papa bukankah kelas 5 sudah berjalan selama 1,5 tahun yang seharusnya membuat guru + murid patut naik kelas.
Maka papa pun memindahkan kami berdua ke sekolah kecil di kampung dekat rumah kami yang mau mengikuti keinginan papa : naik kelas! Aku kelas 6 dan Ay kelas 5.
Ga tahu sekolah kayak apa itu.

Sekolah itu SDN Kajen 138. berada di tengah sebuah kampung dekat pinggir sungai.
Pada hari pertama masuk, papa dan mama mengantar aku dan Ay ke sekolah. Kami berdua memakai seragam baru, sepatu baru, tas baru. Dan kami kaget bukan kepalang…. Selain aku dan Ay, hampir semua murid tidak mengenakan alas kaki. Ada beberapa yang pakai sendal, tapi ga ada pakai sepatu.
Kalau di sekolah yang lama 99% murid adalah china. Disini, hanya kami berdua yang china. Aku dan Ay ibarat 2 jerawat bengkak di jidat. Aneh, gagu, bikin bete. Mereka memandangi kami seperti mahluk asing dari luar angkasa.

Tapi hari pertama berjalan dengan baik, aku bisa langsung diterima menjadi bagian dari kelas 6 yang terdiri dari 28 murid. Bahkan aku langsung punya teman sebangku yang jadi sahabat kental : Suprapto. Aku juga punya ‘gang’ yang anggotanya : Giri, Harto, Iyus, Yono, Yayuk (the only girl) dan tentu saja si Prapto. Kami suka kluyuran sepulang sekolah. Main ke sungai, mencari ikan cetul di kali, main layangan, lari2 dikejar mandor tebu, menangkap capung, sahut + buka puasa, mancing di kolam sriwedari, nonton film, nyolong mangga….
Hal2 yang tidak dilakukan anak2 china kota.

Aku cuma setahun di SD ini. Sebuah SD negeri sederhana. Dindingnya anyaman bambu, atap genting tanpa langit2, lantai tanah, bocor ketika hujan, gelap ketika langit mendung….
Tapi ini adalah salah satu masa-masa bahagia dalam hidup. Meski prestasi sekolah masih biasa2 saja, tapi aku merasakan bersemangat setiap kali pergi ke sekolah. Aku seperti angsa yang menemukan kolam.

Kulit aku jadi kayak langes, kayak jelaga, terbakar matahari.
But I’m happy. Quite happy.

Suatu situasi yang tidak aku dapatkan ketika SMP…kembali ke titik nol….
to be continued.....

1 comment:

Anonymous said...

gak sabar baca kelanjutan kisah si anak badung ini.. :p

-imgar-