Tapi semalam saya tertegun…
Gak! Gak gitu! Gak gitu persisnya!... situasinya gak sesederhana itu!
Saya terbeliak melihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda.
Saya justru kagum dengan
Ini adalah era globalisasi, era perdagangan bebas, era informasi, dstnya; yang sangat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Termasuk paradigma sosial, perdagangan, dan tentu saja pariwisata.
Banyak hal sudah berubah.
Ibaratnya kalau jaman dulu kita datang ke sebuah warung hanya bertujuan untuk membeli suatu barang tertentu, saat ini kita ke ‘warung’ (supermarket) selain membeli, juga bisa menyewa sesuatu, cuci mata, hang out, dll dengan komoditi yang sangat beragam.
Komoditi juga sudah berubah, tidak hanya berbentuk barang nyata, tapi juga jasa, saham, dan lain-lain.
Demikian juga dengan paradigma pariwisata.
Dijaman internet, penerbangan murah, dstnya; pariwisata tidak lagi hanya menjual obyek wisata dan budaya as is, tapi juga berbicara tentang kenyamanan, experience, aksesibilitas, sarana dan prasarana, image, dll.
Cara orang berwisata juga sudah berbeda dibanding bahkan 10 tahun yang lalu.
Pariwisata tidak hanya melulu tentang ‘kelestarian’ budaya tapi juga perdagangan dan politik.
Ini yang sudah dipahami dengan baik oleh pemerintah dan pengusaha swasta
Apakah
Dengan menampilkan tarian pendet di iklannya, seolah-olah
Harus kita akui lebih mudah dan murah untuk ke Denpasar dari
Saya tinggal di Solo dan sudah lama ingin pergi ke Bukit Tinggi dan Aceh. Bagaimana cara paling murah, nyaman dan cepat menuju dua tempat itu?...benar sekali!!!: naik AirAsia ke
Di sisi lain,
Untuk mengalahkan
Dengan demikian, turis mau tidak mau mampir
Sama seperti kasus-kasus yang lalu, saya melihat tujuan asli
Kayaknya faktor ‘patent’ ini jadi nomer sekian.
Sesuai analogi saya tentang supermarket yang menjual berbagai macam barang tanpa harus mengklaim “made by ourself”
Lalu apa selanjutnya?
Salah satu strategi perang: kalau tidak bisa jadi lawan, jadilah teman agar kita memiliki kekuatan yang lebih baik.
Kalau kita cukup pandai, seharusnya kita justru memanfaatkan situasi ini. Biar
Kita benahi saja obyek wisata, agar turis international datang ke Bali,
Sebagaimana analogi saya diatas: sempurnakan kualitas, packaging ‘produk’ kita
biar
Toh semua orang juga tahu yang bikin wajik Ny Week di Muntilan bukan Carefour, Hypermart, atau Hero.
Pada saat yang sama, benahi pula pola pikir, wawasan dan integritas bangsa agar kita bangkit dan bergerak untuk menyamai langkah negara-negara tetangga kita.
2 comments:
sudut pandang yang sangat menarik sobat..anda berani berada di luar arus kuat..di satu sisi saya juga setuju dengan sisi anda, tapi di sisi lain apakah benar bahwa motif malaysia itu benar2hanya "meminjam" tari pendet utk promosi kebudayaannya? mungkin perlu utk dikaji lebih dalam mengingat peristiwa klaim sepihak mereka thd beberapa budaya indonesia beberapa waktu yang lalu..
lagipula,apakah etis pula menggunakan budaya negara lain utk kepentingan promosi pariwisata negaranya?
harus diakui bahwa indonesia memang kalah langkah dalam banyak hal..tapi terus apakah pantas mereka seolah-olah melecehkan harga diri bangsa indonesia? terlepas dengan klaim tari pendet,masih banyak permasalahan dgn malaysia mulai dari penyiksaan tki, perambahan hutan oleh cukong2 malaysia,pelanggaran batas wilayah,dll
tanpa mengesampingkan keobyektivitasan, menurut saya apa yg sudah dilakukan malaysia adalah sudah kelewatan..meskipun kita sebagai bangsa indonesia harus mulai belajar banyak thd kasus terakhir...
semoga dgn mencuatnya kasus ini,mampu menyadarkan bangsa indonesia thd segala kelemahan dan pola berpikir kita yg kurang tepat...dan semoga kasus ini bisa menjadi momen bagi kebangkitan bangsa bahwa kita bisa mengalahkan malaysia, tentunya dari sisi ekonomi,budaya,sdm, dll...
MALAYSIA TERLALU KECIL UNTUK MENJADI LAWAN INDONESIA
sepertinya cuma mas yang berpikir seperti itu ya?? :)
Post a Comment