Pages

Friday, July 23, 2010

Apoteker dan Chocolate Cookies

Kemarin sore, Ridho - si apoteker itu nulis di facebook tentang rumah sakit tempat gawe dia dengan 700 tempat tidur hanya dilayani oleh 22 staf kefarmasian, tanpa didukung sistem inventory yang baik.

Oh ya, kudu di catat: kalau aku sering menyebut nama Ridho, bukan berarti dia satu-satunya teman atau karena dia orang penting. Tapi ada alasan yang kapan-kapan saja aku tulis di sini. Hehe..

Balik ke status fb Ridho ..…

Tentu saja aku gak bisa menahan diri untuk komen ‘umuk’ tersebut.
Agar komen aku gak ‘waton sulaya’ sebelumnya aku riset ringan di internet, tentang rasio ideal tenaga kefarmasian dengan pasien yang dilayaninya; juga ngoprek-ngoprek konsep ‘man-hour’ umum.

Ada satu link yang kemudian menarik perhatian, yakni di page ISFI – Facebook, yang si Ridho juga anggotanya.

Di page itu ada seseorang (*sebut saja si Joko) yang mengeluhkan tentang penolakan ijin membuka apotik oleh IAI setempat. Pengurus IAI menolak dengan alasan rasio apotik/apoteker dengan jumlah penduduk di kota tersebut sudah mencukupi.

Diskusi di page ISFI tersebut berlanjut sangat akademis; hanya mbulet tentang rasio apoteker dan jumlah penduduk kota tersebut. Seolah-olah dunia apotik hanya soal ‘rasio apotik/apoteker dengan jumlah penduduk’
Sama sekali tidak disinggung dari kacamata ekonomi; satu aspek yang sangat penting dalam pendirian sebuah apotik (*atau usaha bisnis lainnya). Malah mungkin paling penting.

Kelaikan pendirian sebuah usaha (apapun) mustinya tergantung pada ‘demand’. Keputusan membuka apotik hanya karena dia seorang apoteker adalah sangat konyol.

Aku pernah ngobrol dengan beberapa pemilik apotik yang mengeluhkan tingkat persaingan yang makin tinggi; yang dari segi ilmu ekonomi, pasti dikarenakan makin banyaknya apotik yang ada di Solo, sehingga mau tidak mau apotik berlomba untuk memperebutkan konsumen.

Di sisi lain, ada satu aspek lagi yang kayaknya juga gak dipahami Joko dan kawan2nya itu.

Nature of busines sebuah apotik berbeda dengan warung gudeg ceker, karaoke NAV, toko handphone, atau panti pijat shiatzu.

Usaha-usaha yang disebut belakangan ini memiliki pasar yang “tidak terbatas”; kejenuhan pasar dapat diperbaki dengan peluasan demografi konsumen, peningkatan kebutuhan, dsbnya. Misalnya dengan penggalakan makan gudeg ceker, memasyarakatkan karaoke sebagai hiburan keluarga, financing pembelian handphone, dll

Tapi kalau apotik gak bisa seperti itu. Bagaimana coba caranya “meningkatkan kebutuhan” antibiotik, analgesik, dll penduduk sebuah kota?

Seseorang yang gak hobi nyanyi bisa saja dibujukin ke karaoke, tapi kalau orang sehat ngapain kudu beli obat daftar G? kalau hanya beli bodrex atau mylanta khan bisa di warung sebelah?

Sampai dititik ini aku jadi prihatin dengan etika profesional dan pemahaman profesi si Joko. Penguasaan ilmu dagang : kurang!
Pemahaman profesi : kurang juga!...

Kalau hanya sekedar ‘punya usaha’ kenapa gak buka toko roti saja?
(dooohhh…lagi pengen banget makan chocolate cookies!!)

Tujuan ilmu kedokteran adalah mencegah penyakit dan memperpanjang hidup. Cita-cita ilmu kedokteran adalah menghapus kebutuhan akan dokter.
(Willian J Mayo, pendiri Mayo Clinic)

(to Ridho : apoteker khan sekutunya dokter!) Hahaha….

--------

share another joke...

Satu pasangan muda sangat bersuka cita demi mengetahui sang isteri hamil muda.
Namun sebelum mendapat kepastian dari dokter, mereka sepakat untuk merahasiakan kehamilan tsb.

Isteri: "Pa, nggak usah diomongin dulu ya...takut gagal, 'kan nggak enak kalau sudah di-omong2in"

Suami: "Oke deh ma, janji nggak bakalan diomongin sebelum ada konfirmasi dokter"

Tiba2 datang karyawan PLN ke rumah mereka untuk menyerahkan tagihan dan denda atas tunggakan rekening listrik mereka bulan yang lalu.

Tukang Rekening PLN: "Nyonya terlambat 1 bulan."

Isteri: "Bapak tahu dari mana...? Papa... Tolong nih bicara sama orang PLN ini...!"

Suami: "Eh, sembarangan. .. bagaimana anda bisa tahu masalah ini?"

Tukang Rekening PLN: "Semua tercatat di kantor kami, Pak."

Suami (tambah sengit): "Oke, besok saja saya ke kantor Bapak untuk menyelesaikan masalah ini!"

Besoknya...

Suami: "Bagaimana PLN tahu rahasia keluarga saya?"

Karyawan PLN: "Ya tahu dong, lha wong ada catatannya pada kami!"

Suami: "Jadi saya mesti bagaimana agar berita ini dirahasiakan, Pak?"

Karyawan PLN: "Ya mesti bayar dong Pak!"

Suami (sialan gue diperes nih!) : "Kalau saya tidak mau bayar, bagaimana?"

Karyawan PLN: "Yaaa.. punya Bapak terpaksa kami putus..."

Suami: "slompret... ? Lha, kalo diputus... nanti isteri saya bagaimana... ?"

Karyawan PLN: "Kan masih bisa pakai lilin."

No comments: