Pages

Sunday, October 17, 2004

AFI

Aku terkadang memperhatikan acara reality show di TV : AFI.
Seperti malam ini, seorang lagi tereliminasi. Beberapa orang tersentuh haru. Sementara yang tereliminasi membuat pidato perpisahan tentang bersyukurnya dia bisa mengikuti acara ini, beratnya meninggalkan teman2, terima kasih untuk para mentor, dan senangnya bisa pulang dan bertemu keluarga. Rasanya selebritis banget.
Terus terang, saya jadi berandai-andai menjadi salah satu peserta AFI, berusaha tampil keren dan baik, supaya disukai dan dipilih penonton; untuk tidak tereliminasi. Dan kalaupun seandainya akhirnya harus tereliminasi, saya membayangkan bagaimana saya akan bersikap seelegan mungkin, dan kata-kata apa yang akan aku ucapkan dalam pidato perpisahan. Ah, seandainya saja…..HEI!! tapi tiba-tiba aku tertegun! Saya sebenarnya hidup dalam AFI!!! Kita semua hidup dalam AFI!!!
Hidup kita seperti AFI, kita berusaha tampil baik dan berkenan, tapi akhirnya kita tetap seperti acara AFI, kita harus menghadapi eliminasi.
Satu persatu kita dieliminasi dari kehidupan. Satu persatu kita dipanggil “pulang” persis seperti AFI, kita tidak bisa menolak utk dieliminasi. Entah sehebat apa kita berusaha, sebagus apapun kita tampil, tapi ketika saatnya tiba, kita harus meninggalkan ‘panggung’, tanpa pemberitahuan sebelumnya, kita harus kembali pulang.

Saya berpikir, pidato seperti apa yang akan saya ucapkan.
Apakah saya akan mensyukuri apa yang sdh saya lakukan dalam “karantina” kehidupan ini, apakah saya sudah berusaha belajar menyanyi (mengucap syukur kepada Tuhan) dengan ‘pitch’ yang benar. Apakah saya akan gembira meninggalkan hidup ini, karena saya akan bertemu “keluarga”, atau malah menangis, menyesal dan mengutuki kenapa harus secepat ini tereliminasi.

Dan saya berpikir, kemana saya akan pulang dari hidup ini.
Apakah sesudah ini, saya akan dilupakan, mati dan tamat; atau meskipun telah meninggalkan panggung, aku akan punya kehidupan baru, dengan karakter dan jiwa yang baru ?

Saya juga berpikir, seandainya saat ini belum tereliminasi, apa yang harus aku perbuat
Kapan kita akan tereliminasi, tidak sepenuhnya tergantung pada kita. Pihak lain yang menetukan. Kalau dalam AFI, penonton mengirimkan SMS, tapi dalam kehidupan, Tuhan menentukan.
Apakah itu berarti saya akan menyerah pada nasib dan mengutuki penonton yang kurang mengirim SMS, atau malah sebaliknya : belajar sekuat tenaga, berusaha tampil sebaik mungkin, dan berdoa sebagai ungkapan syukur atas kesempatan yang ada. Dan akhirnya biarlah Tuhan yang menetukan

Dan akhirnya saya berpikir, masuk 10 besar sudah kesempatan hebat kok!
Kesempatan utk mengikuti AFI adalah suatu karunia. Tidak banyak orang memiliki kesempatan ini. Sama dengan hidup. Banyak yang diharapkan lahir dan manjadi manusia, tapi hanya sedikit yang menjadi manusia, lebih sedikit lagi yang mendapat kesempatan mengenal Kristus.
Kalau saya mengenal Kristus, itu artinya saya sudah masuk 10 besar. Jadi kapanpun saya tereliminasi, saya sudah patut bersyukur, saya sudah masuk 10 besar.

Dan akhirnya ketika saya harus tereliminasi….
Saya akan lega, saya akan pulang dengan sukacita, saya akan mengucapkan pidato dengan penuh syukur, bangga dan lega; karena saya tahu, saya sudah bernyanyi dan tampil sebaik mungkin. Dan malam ini saya akan tidur di rumah Bapa yang menunggu saya.
10/16/2004 11:46 PM

No comments: